Bab 11 : Don't leave

42 11 0
                                    

Bismillah rameee, hehe 😉

"Mau dan senangnya, akan selalu ku usahakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau dan senangnya, akan selalu ku usahakan. Kendati harus meredam sakit, ntah sampai kapan." — Rafa Zefan Shabiru

***

Flashback on

Ayah Alfi : Temuin Ayah di kantor sekarang!

15 menit sejak menerima pesan tersebut. Rafa kini sudah berada didepan lift lantai 3. Berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan Ayahnya yang merupakan pimpinan di sini.

Sesampainya, Rafa  langsung menekan sandi dan secara otomatis pintu ruangan itu terbuka.

Netranya menyapu isi ruangan yang hanya di sinari lampu kerja dan terhenti pada sosok lelaki yang sedang duduk di sudut meja membelakangi dirinya.

“Ada perlu apa, Ayah?” tanya Rafa. Berjalan mendekat.

Hening seketika menyergap. Lelaki yang masih berpakaian jas hitam dan kemeja putih didalamnya itu berdiri dari posisi duduk kemudian berbalik. Sontak Alfi terperangah melihat wajah putranya yang terdapat memar merah. Tidak separah sebelumnya, namun bekasnya masih bisa terlihat.

“Kamu berantem lagi?” tanya Alfi. Tangannya mengudara menyingkap rambut Rafa yang kala itu menutupi sebagian dahinya.

Rafa tertunduk, terdiam cukup lama, tidak tahu mau menjawab apa. Padahal sebelum ini dia sudah berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tapi keadaan memaksanya.

“Kan, Ayah sudah bilang, jangan sakiti diri kamu seperti ini lagi. Itu bisa berdampak buruk buat kesehatan kamu, Raf," kata Alfi lagi mecoba mengingatkan.

“Iya, Yah, maaf. ” hanya itu saja yang bisa Rafa katakan saat ini.

Alfi menarik nafas berat kemudian mengambil beberapa langkah mendeka. Tangannya terjulur, menyodorkan secarik kertas yang masih terlipat rapi kepada Rafa.

"Apa ini, Ayah?” Rafa menerima kertas tersebut dan membukanya.

Mata lelaki itu mengamati setiap tulisan yang berderet didalam kertas tersebut. Air wajah Rafa seketika berubah. Bohong jika tak mengerti, dia melebihi kata paham mengenai hal ini.

Sementara Alfi terdiam, tangannya mengudara untuk mengenggam kedua pundak Rafa. “Kamu harus pergi, Raf. Kamu harus sembuh,” kata Alfi penuh harap. Matanya berkaca-kaca.

Setelah membaca hingga selesai, pandangan Rafa kembali naik, menatap wajah Ayahnya. Bukan terkejut perihal isi surat itu, melainkan kalimat Alfi sebelumnya. “Pergi? Maksud Ayah?”

Alfi menarik nafas dalam-dalam, dadanya terasa sesak jika harus menjelaskan apa maksud dari kertas itu. Bibirnya mengelu seketika, membisu, hingga Rafa sedikit mengguncang tubuh lelaki itu agar kembali bersuara. “Ayahh?” lirihnya pelan.

ATMA Seluas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang