Bab 20

71 3 2
                                    

Tanganku ditarik paksa olehnya dibawa mengikuti langkahnya yang cepat. Sesekali aku nyaris terhuyung karena tak mampu mengimbangi langkah Raka yang panjang.

Sepanjang dia menyeretku, sepanjang itu pula tatapan sinis kudapati dari orang-orang. Semua orang berbisik-bisik, kuyani itu bahasa iblis yang menjelek-jelekkanku.

Lihat saja. Kalau semua ini sudah selesai, tak akan ku ampuni kalian semua. Jika bukan karena pendidikanku, sebenarnya sudah sejak kemarin aku membalas manusia-manusia tidak tahu diri ini.

"Awh!" Aku menjerit begitu Raka menghempasku, terdorong ke dinding dalam toilet. Belum siap aku menahan sakit, tubuhku sudah kembali melompat ditempat manakala Raka dengan entengnya menendang pintu toilet, tak membiarkan siapa pun masuk ke dalam.

Aku semakin gemetar. Apa yang coba di perbuat anak ini? Jangan sampai dia melakukan hal yang tidak-tidak. Sungguh, tak akan kumaafkan walau dia menangis darah sekali pun.

"Raka, kamu apa-apaan ...."

Suaraku tertelan begitu saja begitu mendapati tatapan kebencian dari pria ini. Dia mendekatiku, lengkap dengan senyum iblisnya.

"Gue sebenarnya penasaran juga. Gimana sih cara lo buat bokap gue tergila-gila? Apa karena paha Lo yang mulus? Atau lidah Lo yang benar-benar manis?" gumamnya, menghinaku tak ada habisnya.

Dadaku langsung membara, rasanya emosi. Walau dengan mataku yang basah, kuharap Raka mengerti betapa aku mencaci makinya lewat itu.

"Udahlah, Ka. Aku udah bilang, kan-"

"Sthhh!" Raka mendesis sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirku. "Nggak usah sok polos lagi di depan gue. Ayo. Tunjukin jati diri lo yang sebenarnya. Nggak perlu pura-pura baik atau apa pun lagi!"

Aku menepis tangannya, kuat. "Mau Lo apa?" tanyaku. Persis seperti apa maunya. Tak perlu bersikap baik, atau merasa segan.

Raka kembali tersenyum miring, memamerkan kebenciannya. "Jadi budak gue. Layani-"

"Jangan gila!" selaku, cukup muak. "Lo sebenarnya benci ke gue atau ke bokap Lo, hah? Berapa kali gue harus bilang ke Lo, kalau gue nggak ada apa-apa sama Om Burhan! Lo aja yang kekanakan-kanakan. Nggak bisa bersikap dewasa yang buat keluarga Lo makin hancur!"

Emosi, dia menendang tempat sampah hingga isinya berantakan. "Nggak ada apa-apa? Lo masih terus ngelak padahal semua bukti udah ada. Lo nginap kan di apartemen yang di bayarin Papa? Lo juga punya kartu debitnya. Buat apa? Mustahil ada orang yang ngasih fasilitas secara cuma-cuma kalau nggak ada sesuatu di dalamnya!" bentaknya, menggema sekali suara lelaki ini.

Gegas saja kurogoh tas selempangku, lalu mencampakkan kartu yang dimaksud ke arahnya. "Tuh! Udah? Gue sebenarnya masih bingung, kenapa setiap dia ngasih sesuatu ke gue, Lo pasti tahu. Sebenarnya kalian ini sengaja kan mau ngerusak hidup gue. Kalian berdua memang aja! Nggak ada ubahnya."

"Mau ke mana Lo!"

"Lepas!" Langsung kutepis tangannya yang memegangiku. "Plisss! Hanya sisa satu tahun lagi, Raka. Gue bakalan pergi dari kehidupan kalian bahkan kota ini! Tolong jangan hancurin hidup gue. Kedua orang tua gue berharap banyak ke gue, Ka. Tolong banget. Udah. Kita udah impas, kan? Lo udah buat namanya gue jelek di mata anak-anak kampus lainnya. Apa itu masih kurang?"

"Lo mikir orang tua Lo. Terus gimana sama nyokap gue? Air matanya nggak akan bisa lo bayar pake apa pun, Luna! Lo ngerebut suami orang. Sadar nggak?" balasnya dengan nada yang sama.

Aku langsung teringat akan kesedihan di mata ibunya Raka malam itu. Jujur saja, aku pun ikut iba melihatnya. Tapi tak ada niatku sama sekali. Aku bahkan tidak tahu kalau suaminya akan bertindak sejauh itu.

"Gue ... gue minta maaf. Gue juga nggak tahu kalau-"

"Selama satu tahun, kan?" sela Raka, membuatku terdiam. "Waktu Lo di sini sisa satu tahun. Maka selama itu, lo harus tetap berada di samping gue. Apa pun itu. Laporan ke gue, Lo lagi apa, lagi di mana, lagi sama siapa, dan siapa aja yang Lo temui satu harian itu. Setelah itu, kita baru impas!"

Mendengar itu aku langsung mendesah berat, frustrasi. Aku menyugar rambutku kuat, berharap aku tak kehilangan kendali yang membuat keadaanku justru semakin menyedihkan.

"Ayo dong, Ka. Percaya sama gue. Gua nggak akan ganggu keluarga Lo, atau bahkan dekat-dekat sama Bokap Lo. Plisss!" pintaku, membujuknya dengan segala upaya.

"Ya kalau gitu, turuti apa mau gue. Kenapa? Lo nggak bisa? Oh atau jangan-jangan Lo takut job desk Lo sebagai pelacur kehalang karena gue?"

"Raka, stop! Lo udah keterlaluan!" bentakku, benar-benar muak.

Dia menyungging senyum iblisnya. "Turuti apa mau gue! Nggak usah banyak bacot deh. Itu pun kalau Lo mau hidup Lo aman-aman aja. Jangan sampai gue emosi dan ngabarin orang tua Lo di kampung tentang ulah Lo ini. Pilihan ada di lo. Iya, atau nggak sama sekali!"

Aku menelan ludah yang cukup pahit sambil menahan air mata. Sebelum Raka benar-benar pergi, aku langsung mengiyakan apa maunya. Tak ada pilihan lain lagi. Ayah ibuku tak boleh tahu apa yang sudah kualami di kota ini. "Oke. Gue setuju."

Dia langsung menghentikan langkahnya, lalu berbalik lagi padaku. Senyum biadab itu sudah cukup membuatku muak. Lihat saja. Setelah semua ini selesai, setelah aku mendapatkan gelar s1 ini, akan kuanggap pria bajingan ini sebagai hama yang mengganggu dihidupku. Jangankan sebatas ingatan, untuk menganggapnya ada di hidupku pun tak akan pernah!

"Bagus. Itu pilihan yang tepat," katanya, tampak senang sekali. "Hp lo sini."

"Buat apa?"

"Ya gue harus tau lo chatingan sama siapa aja, telponan sama siapa aja. Jangan lupa juga, blokir nomor papa dari wa lo!"

"Itu berlebihan!" Aku coba mengingatkannya. Jujur, ini sudah lebih dari cukup. Apa dia tak malu mengatakan itu?

"Sini nggak?" desaknya, alih-alih menyadarinya kalau hal yang dia lakukan sama sekali tidak punya sopan.

Terpaksa aku menyerahkan ponselku, pasrah melihat Raka membuka isinya bahkan menautkan perangkat agar dia bisa senantiasa memantau siapa saja yang kuhubungi sehari ini.

"Oke, lo aman kali ini," ucapnya sambil mengembalikan benda persegi itu. "Oh iya. Jangan temuin Papa lagi. Keluar dari apartemen itu! Malu sedikit. Fasilitas yang lo dapatin itu masih hak nyokap gue! Dengar lo?"

Aku terus mengerjap-erjap, menyamarkan air mata. Aku mengangguk samar, patuh pada anak kecil yang sok kuat ini. Andai tak ada yang kupedulikan di dunia ini, sebenarnya sudah habis pria kurang ajar ini tinggal nama ditanganku.

"Lo dengar nggak?" bentaknya lagi, membuatku berjengit ditempat.

"Iyaaa." Aku terpaksa membalas walau hati ini kalut tak berdaya lagi.

Dia langsung pergi begitu saja setelah dia mendapatkan apa maunya. Tinggallah aku si wanita malang ini. Sudahlah miskin, tak punya teman, bahkan harus dihina habis-habisan.

Sial! Siapa yang harus kusalahkan atas semua ini?

Tak lama pesan darinya langsung masuk. Mataku benar-benar malas untuk melihatnya. Tapi, pria itu bisa gila lagi kalau kuabaikan begitu saja.

[Gue lapar. Bawain sesuatu yang enak di makan. Gue tunggu di parkiran tempat biasa]

___

Vote, komen ya. ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku (Bukan) Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang