Chapter 13

2.2K 218 3
                                    


We rule this school
And we all belong
Yeah, we all belong
We rule this school
All of us
We rule this school
We're fabulous ~~

Bagian terakhir dari lagu berjudul We Rule This School itu terdengar menghiasi lounge room yang hanya dihuni dua orang yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Ivy yang baru saja menyelesaikan salah satu film Barbie itu merengut kesal, ia kemudian menoleh kepada sosok manis yang sedang melukis menghadap ke arah jendela sehingga ia bisa melihat dengan jelas lukisan sosok itu dari arah mini bioskop tempatnya berada.

Sosok yang dimaksud adalah Camora, setiap ia melihat gadis itu hatinya terasa begitu sejuk. Aura positif yang dipancarkan Camora sungguh menguar hingga dapat membuatnya begitu tertarik dengan gadis itu. Perangainya yang lembut dan begitu indah membuatnya takjub. Gadis itu benar-benar seperti malaikat. Namun sosoknya yang juga begitu kaku dan pendiam terkadang terasa aneh untuknya. Gadis itu terlihat tidak memiliki emosi sama sekali, wajahnya yang selalu terlihat datar itu penuh tanda tanya, senyumanpun tak pernah gadis itu perlihatkan.

Ivy merasa jika melihat sekeliling lingkaran kehidupan gadis itu tidak ada masalah, keluarga dengan latar belakang tinggi dan harmonis, kehidupan yang glamor serta lingkup pertemanan yang baik tentunya menjadi kecukupan tiada tara. Lantas mengapa gadis itu seolah-olah tidak memiliki kebahagiaan sama sekali.

Ivy tidak tahu apakah gadis itu memang pendiam tanpa faktor penyebab atau ia memang sedikit berbeda dengan orang pada umumnya. Jika memikirkan opsi kedua sepertinya tidak, Camora adalah sosok yang genius, tak mungkin ia memiliki kelainan seperti itu, juga ia belum pernah mendengar kasus seperti ini sebelumnya.

Tapi Ivy juga tidak bisa membuktikan bahwa opsi pertama adalah hal yang sebenarnya, karena dibeberapa waktu tatapan datar yang Camora layangkan terkadang terasa begitu hampa.

Ivy tahu betul bahwa ia tidak bisa menilai kehidupan orang itu bahagia atau tidak hanya dari apa yang ia lihat. Tapi jika memikirkan opsi lain yang menjeruk kepada hal negatif rasanya begitu mencekik. Ia bahkan tidak mampu membayangkan hal-hal buruk seperti itu.

Sadar dari lamunannya, ia kemudian bangkit menghampiri Camora. Ia bergerak secara perlahan berniat untuk mengejutkan gadis itu yang terlihat begitu serius saat ini. Ketika jarak mereka sudah dekat ia memajukan sedikit tubuhnya berniat membisikkan sesuatu pada gadis itu.

"Vy?" Camora tiba-tiba berbalik.

"Oh my!" Ivy kaget, ia memundurkan tubuhnya lalu mengelus dadanya pelan.

"Ra, ngagetin tau!" Tanpa sadar nada suara gadis itu meninggi karena sedikit kesal, bukan pada Camora tapi pada dirinya sendiri yang terlalu sial. Niat untuk mengerjai gadis itu malah berbalik padanya.

"Maaf Ivy, kamu gapapa?" Ivy masih belum menjawab, ia masih sibuk menetralkan degup jantungnya. Ia bahkan tidak sadar bahwa Camora saat ini mengeluarkan kata lebih dari biasanya.

Camora dilanda rasa bersalah, ia menatap Ivy dengan tatapan penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa ternyata jarak mereka sedekat itu. Ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, kedua tangannya terpaut bergerak secara tidak teratur karena gelisah.

Setelah selesai menteralkan degup jantungnya yang kini telah kembali normal, Ivy lalu menatap Camora.

"Eh, i'm okay Ra" sahut Ivy tapi tidak melenturkan rasa bersalah gadis di depannya.

"Maaf," ucap Camora lagi dibalas senyum oleh Ivy dengan maksud menenangkannya.

"Ayo!" Ia menggandeng lengan Camora dengan begitu semangat, tak mengindahkan tatapan penuh tanya gadis disampingnya ia mulai berjalan meninggalkan lounge room yang kini benar-benar kosong.

Shadowlight In Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang