18. Pukulan

0 0 0
                                    

Setelah kepergian Alvan tiga hari yang lalu dan keduanya sekarang benar-benar seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal, walaupun duduk sebangku. Namun Tiffany seolah tak peduli dengan kehadiran laki-laki itu begitupun sebaliknya. Alvan hanya diam, sifat yang dulu bisa friendly dan humoris kini berubah seakan tak ada celah untuk kembali ke sifat semula. Alvan yang dulunya sering telat kini lebih sering datang lebih pagi.

Sama seperti saat ini, masih pukul 06:19 laki-laki itu sudah berada dalam kelas, duduk dengan headset yang menyumpal telinganya. Sekolah masih sepi, hanya dirinya yang berada di kelas itu dan beberapa murid di kelas lain.

Tepat saat dirinya ingin beranjak dari duduknya, Tiffany datang dgn sebelah tangan yang terbalut perban dan satu plaster melekat di pipi gadis itu. Sempat ada niatan ingin bertanya namun itu semua urung kala Tiffany lebih membuang muka dan seolah tak peduli dengan kehadirannya. Laki-laki itu memilih melihat layar handphone nya. Ternyata benar, kemarin adalah kepulangan orang tua Tiffany, sudah di pastikan gadis itu di siksa habis-habisan kemarin.

Karena mengerti situasi, Alvan memilih pergi tanpa sepatah katapun. Lagi pula dirinya berucap pun hanya akan mendapatkan jawaban dari cicak penghuni kelas, bukan dari Tiffany yang kini duduk enteng dengan satu buku jadi arah pandangnya.

Tepat saat kakinya mulai melangkah handphone nya berdering pertanda panggilan masuk. Tak menghentikan langkah nya laki-laki itu langsung menjawab panggilan dan tetap melanjutkan langkah kakinya.

"Lo di mana woy! Gua dirumah lo, tapi kata nyokap lo, lo udah pergi duluan! Lo beneran ke sekolah?" suara Dion menjadi pembuka obrolan.

"Hmm, gua udah di sekolah. Buru gua tunggu di taman belakang!"

"Oke, gua sama Tio udah otw kok!"

Tut. Sambungan diputus sepihak oleh Alvan. Langkah nya terus menyusuri koridor yg mulai di isi oleh murid yg berdatangan.

Setelah tiba di taman belakang sekolah, laki-laki itu memilih mendudukkan diri di bawah pohon rindang yang ada di sana. Suasana sejuk sangat kentara, sinar matahari pagi juga tidak menyengatnya sebab berlindung di bawah pohon. Matanya terpejam menikmati angin pagi yang berhembus, namun pikiran nya masih berkecamuk tentang siapa yang telah menjadikan nya kambing hitam dari perbuatan jahat nya.

"Video yang Tiffany dapat itu... Itu editan kan? Deepfake, iya, kenapa gua gak kepikiran ke sana ya? Gua bisa minta tolong bang Edgar, dia ngerti soal beginian!" monolog nya seorang diri.

"Baru sadar lo?"

Suara yang entah dari mana asalnya berhasil membuat Alvan spontan berdiri dari duduknya, ia mencari ke seluruh arah namun tak menemukan siapapun, alisnya mengkerut bingung. Sedangkan sosok itu hanya menggeleng kepalanya menahan tawa melihat ekpresi temannya yang kebingungan.

"Gua di atas pohon, Van!" ucapnya diiringi kekehan ringan.

Alvan spontan mendongak, laki-laki itu malah menatap nya nyalang sehingga Bintang yang tengah duduk enteng di atas pohon harus melompat turun di sertai dengan senyum pepsodent nya.

"Lo telat sadar nya ogeb! Udah tiga hari lo baru nyadar, untung waktu itu gua minta Tiffany buat ngirim," ucap Bintang sembari merapikan seragam nya yang lumayan kusut.

"Dikirimin?"

"Yoi, tapi pas jam dua belas malem, mana pas lagi, curiga gua dia nangis ampe tengah malam. Gimana sama tetangga nya ya? Gak ngira kunti kan?" ujarnya menatap Alvan yang hanya menatapnya jengah.

"Santai bro, duduk lah, capek gua!" ajak Bintang, laki-laki itu lebih dulu mendudukkan diri di tempat Alvan duduk lesehan tadi.

"Capek? Emang lo kesekolah jalan kaki?" tanya Alvan berniat bercanda, namun ternyata jawaban temannya masuk dengan candaannya.

"Yoi, dari halte dekat alfamart gua jalan kaki, gara-gara motor sialan gua pake mogok, mana tadi handphone gua pake ngelag, gara-gara banyak ngoleksi foto Wonyoung nih kayaknya."

"Makan tuh Wonyoung!"

***
"Kenapa nilai kamu semakin menurun?" pertanyaan itu terlontarkan oleh bibir pria didepannya. Auranya benar-benar tidak enak di pandang.

"Maaf, Yah!" hanya kata maaf yang terlontarkan di bibir merah muda milik Tiffany. Gadis itu menunduk menghindari tatapan tajam sang Ayah.

"Kamu pikir dengan kata maaf nilai kamu akan kembali baik? Malam ini jangan tidur hingga pagi hari! Belajar! Jika kamu melanggar maka kamu akan tau sendiri akibatnya!" setelah mengucapkan hal itu, Geondra berlalu pergi meninggalkan sang putri yg hanya menunduk dalam diamnya.

Langkah kakinya membawanya ke arah meja belajar. Helaan nafas pasrah ia lontarkan, buku-bukunya tersusun rapi di rak buku yang tersedia. Tiffany beralih mendudukkan diri di kursi belajarnya, buku informatika miliknya ia raih. Ia buka halaman pertama, "ini udah gua pelajari!" ungkapnya.

Buku informatika miliknya kembali ia taruh dan tangannya beralih meraih buku Bahasa Indonesia, kebetulan besok dirinya akan belajar pelajaran tersebut. Menit demi menit berlalu dan kini berganti jam, mata yang tadinya masih cerah dan fokus untuk belajar kini sudah mulai terserang rasa kantuk. Kepalanya ia rebahkan di atas meja dengan tangan sebagai bantalan, namun matanya masih terus menatap ke arah buku. Tak berselang lama Tiffany sudah berpindah ke alam mimpi. Bukunya pun juga ikut menutupi wajahnya.

Geondra yang berniat kembali ke kamarnya untuk beristirahat kini menghentikan langkahnya tepat di depan kamar putrinya. Tangannya beralih memegang gagang pintu, ia buka hingga tatapannya tertuju ke arah gadis yg tertidur pulas dengan buku yang menutupi matanya. Seketika amarahnya memuncak, perintahnya seolah di abaikan oleh putrinya sendiri. Dengan langkah tergesa-gesa pria itu mendekati putrinya, buku yang tadi menutupi wajah Tiffany ia ambil lalu membantingnya tepat di dekat kepala Tiffany, sehingga sampul buku itu mengenai jidatnya.

Matanya terbuka secara terpaksa, awalnya gadis itu linglung namun sedetik kemudian rasa takut menyelimuti tubuhnya saat melihat wajah sang Ayah yang memerah menahan emosi. "A-ayah?".

"Sudah berani kamu, hah! Saya sudah bilang tadi, jangan tidur! Namun kamu? Masih saja melanggar!!" gertak Geondra.

Pria itu berlalu pergi dengan tangan yang tergepal kuat, bahkan urat-uratnya terlihat dengan jelas. Sedangkan Tiffany yang masih duduk berusaha menetralkan degup jantungnya, gadis itu masih kaget dengan kedatangan Ayahnya secara tiba-tiba.

Tak berselang lama Geondra kembali dengan tingkat golf di tangan kanannya, garis wajahnya memancarkan amarah yang membuncah. Tiffany sudah kalang kabut di tempatnya, jantungnya semakin berdetak tak karuan apalagi Ayahnya semakin mendekat.

Tepat saat Geondra mengangkat tingkat golf itu, Tiffany spontan menutup matanya keringat dingin ikut bercucuran.

Bugh... Bugh..

"Tif!?"

Gadis itu tersentak kala sebuah tangan menyentuh pundaknya, lamunannya langsung buyar saat itu juga, "Kenapa Na?" tanyanya.

Nara tersenyum kecil melihat wajah terkejut Tiffany, "Gapapa, ini gua cuman mau ngasih laporan titipan Lona, dia gak masuk jadi nitip, katanya buat pendaftaran ekskul gitu!" ucap Nara sembari menyerahkan lembaran kertas putih itu.

"Oh, thanks ya!"

"Em!"

~~~

Maaf ya lama nongol nya hehe...

Jgn lupa vote, comen and follow.. Buat yg belum follow..

Tandain yang typo! Wajar di dunia ini gak ada yang sempurna..

See you next part!!

🌸🌸🌸

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FILW KETOS!! {𝙱𝙴𝙻𝚄𝙼 𝙳𝙸𝚁𝙴𝚅𝙸𝚂𝙸}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang