19

111 19 1
                                    

...

A

khir-akhir ini Jihoon sangat sibuk dengan pekerjaanya, tak jarang ia pergi keluar negeri untuk menyelesaikan semua pekerjaanya hingga membuat waktu kebersamaan mereka sangat jarang.

Biasanya Jihoon akan meluangkan waktu untuk bermain degan Junghwan, namun sudah beberapa hari ini dia benar-benar sibuk hingga melupakan kehadiran nya dengan Junghwan.

Entah apa pekerjaan yang membuatnya menjadi seperti ini, tapi Hyunsuk percaya jika Jihoon memang menyelesaikan pekerjaan bukan hal lain.

Hyunsuk menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Suara gemericik air dari dispenser di sudut ruangan terasa begitu sunyi, seperti mencerminkan kekosongan yang kini ia rasakan. Junghwan, yang baru saja tertidur di kamar, membuat suasana apartemen lebih sepi. Anak itu baru saja menginjak usia satu tahun, usia yang seharusnya penuh dengan momen-momen kecil bersama kedua orang tuanya. Tapi akhir-akhir ini, Jihoon seperti menjadi sosok yang sulit dijangkau.

Jihoon adalah CEO di perusahaan ternama, perannya sangat penting, dan setiap keputusan yang ia ambil berpengaruh besar pada masa depan perusahaan. Hyunsuk paham betul tanggung jawab yang harus diemban oleh suaminya. Namun, Hyunsuk juga merasa bahwa tanggung jawab sebagai seorang ayah seharusnya tidak boleh diabaikan. Setiap kali Junghwan menyebut "papa" dengan suara mungilnya, hati Hyunsuk mencelos, karena ia tahu Jihoon sering kali tidak ada di sana untuk menjawab panggilan itu.

Malam itu, ketika Hyunsuk tengah melamun, suara pintu rumahnya terbuka pelan. Jihoon masuk dengan langkah yang lelah, dasinya sudah terlepas, dan wajahnya terlihat kusut. Hyunsuk menoleh, mencoba menyembunyikan ekspresi kecewa. 

“Kenapa baru pulang?” tanya Hyunsuk, tanpa menyembunyikan nada dingin dalam suaranya.

Jihoon mengangguk kecil sambil meletakkan tas kerjanya di meja dekat pintu. “Maaf, aku pulang terlambat lagi. Ada rapat mendadak dengan investor luar negeri.”

Hyunsuk hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu alasan Jihoon, namun mendengar kata-kata itu lagi hanya membuat hatinya semakin berat. Jihoon berjalan ke dapur, menuang segelas air, lalu kembali ke ruang tengah. Ia duduk di samping Hyunsuk, mencoba mencari kontak mata, tapi Hyunsuk tetap memandang ke arah lain.

“Bagaimana Junghwan?” tanya Jihoon akhirnya, memecah keheningan. 

“Dia baik-baik saja. Dia selalu baik-baik saja, meski papa-nya tidak pernah ada untuknya,” jawab Hyunsuk dengan nada tajam.

Jihoon terdiam. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Hyunsuk benar. Akhir-akhir ini, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan banyak hal. Tapi ia tidak bisa mundur; tanggung jawab di perusahaan menuntut lebih dari sekadar kehadiran fisiknya.

“Aku tahu aku salah,” ucap Jihoon akhirnya, suaranya pelan dan penuh penyesalan. “Tapi aku melakukan ini untuk kalian, Hyunsuk. Untuk memastikan masa depan Junghwan.”

Hyunsuk menoleh, matanya memerah. “Masa depan Junghwan tidak hanya tentang uang, Jihoon. Dia butuh kehadiranmu sekarang, bukan nanti. Apakah kau tahu bahwa dia mulai memanggilmu ‘papa' beberapa bulan lalu? Dia bahkan sering mencarimu, Jihoon,”

Mendengar itu, Jihoon merasa seperti dihantam keras. “Dia sering menanyaiku?” tanyanya pelan, suaranya bergetar. 

Hyunsuk mengangguk. “Ya. Dan setiap kali dia menanyaimu, aku hanya bisa menjawab bahwa papa-nya sedang bekerja. Aku tahu kau sibuk, tapi dia anak kita, Jihoon. Dia butuh lebih dari sekadar bayangan ayah yang selalu hilang.”

Jihoon mengusap wajahnya, mencoba menahan rasa bersalah yang terus menghantam. Ia tahu dirinya terjebak di antara dua prioritas yang sama pentingnya, keluarga dan pekerjaan. Tapi malam itu, kata-kata Hyunsuk membuatnya sadar bahwa ia sudah terlalu jauh melupakan hal yang lebih berarti.

Married by Accident - HoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang