20

108 13 0
                                    

...

Junghwan terbangun karena merasa haus. Mata kecilnya terbuka perlahan di tengah kegelapan malam, dan ia mengerutkan kening sejenak, mencoba mengingat di mana ia berada. Ranjang kecilnya terasa lebih sepi dari biasanya tanpa suara mama yang biasa menemani tidurnya. Dengan tubuh yang masih kaku dan kepala yang sedikit berat, ia bangkit perlahan dari ranjang, kaki kecilnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Ia sedikit ragu, memandangi pintu kamar yang terbuka sedikit. Biasanya, jika malam sudah larut, pintu itu akan tertutup rapat, tapi pagi ini, entah mengapa pintu itu dibiarkan terbuka.

Junghwan tidak berpikir panjang. Dengan rasa ingin tahu, ia melangkah keluar kamar, menapaki lorong rumah yang sunyi. Hanya suara napasnya yang terdengar pelan, dan sesekali ia mendengar gemerisik dari rumah lainnya, mungkin dari luar jendela yang terbuka sedikit. Hatinya merasa nyaman, seolah pagi ini ia hanya ingin menjelajah.

“Mama...” panggilnya pelan, suaranya nyaris hilang dalam keheningan. Ia berharap ada jawaban, seperti biasa. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Junghwan sedikit terhenti, kerutan kecil muncul di wajahnya yang masih polos. Biasanya, jika ia memanggil, sang mama akan segera muncul, menghadapinya dengan senyum hangat dan pelukan yang nyaman. Tapi kali ini, sepertinya tidak ada siapa-siapa.

Kaki kecilnya terus melangkah, meski rasa ingin tahunya mulai digantikan sedikit rasa khawatir. Dengan pelan, ia menyusuri lorong menuju dapur, tempat yang selalu ia temui mama di pagi hari. Dapur yang hangat, dipenuhi dengan aroma masakan mama yang selalu membuatnya merasa tenang. Tapi pagi ini, dapur itu tampak sunyi. Hanya lampu redup yang menyinari bagian meja, sementara rak-rak piring dan peralatan dapur lainnya tampak tertata rapi.

Junghwan sedikit merenung sejenak, lalu matanya tertuju pada sebuah botol susu yang tergeletak di meja. Botol itu sudah setengah kosong, namun cukup untuk menghilangkan rasa hausnya. Junghwan mendekat dengan hati-hati, tangannya yang kecil terulur ke arah botol yang diletakkan agak jauh di pinggir meja. Ia berusaha meraihnya, namun tubuhnya yang masih terlalu kecil membuatnya kesulitan.

Dengan sedikit frustrasi, Junghwan mulai menangis pelan, suara isaknya terdengar lembut di tengah sunyi dapur. Ia merasa sedikit bingung—mengapa semuanya tampak berbeda pagi ini? Mengapa mamanya tidak ada di sini seperti biasa? Tangannya yang gemetar mencoba meraih botol susu itu sekali lagi, tapi usaha itu tetap gagal. Saat itulah, sebuah suara lembut terdengar dari belakang.

"mamaaa!" pekiknya.

"Junghwan, sayang, kamu di sini?" Suara itu begitu familiar, dan Junghwan segera menoleh dengan cepat. Matanya berbinar-binar saat melihat sosok mamanya berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat lelah namun penuh dengan kasih sayang.

"Mama!" seru Junghwan, suaranya kini terdengar penuh kebahagiaan. Ia mengangkat tangannya, menggapai pelukan ibunya yang sudah sangat dinantikannya. Hyunsuk tersenyum lembut, berjalan mendekat, dan dengan hati-hati menggendong tubuh kecil Junghwan ke pelukannya.

"Hwanie, sayang, sudah bangun?" tanya sang mama, dengan suara yang penuh kehangatan, mencium kening Junghwan dengan lembut. Junghwan hanya menggigit bibirnya, masih merasakan sedikit tangisan yang belum selesai, tapi kehadiran ibunya sudah cukup untuk membuatnya merasa aman lagi.

"Mama au mimi," katanya dengan suara kecil, menunjuk ke botol susu yang masih tergeletak di meja. Hyunsuk tersenyum penuh pengertian, kemudian memegang botol itu dan membukanya. Dengan hati-hati, ibunya menyuapkan susu ke mulut Junghwan, yang segera meneguknya dengan rakus.

Hyunsuk mengelus kepala Junghwan dengan lembut. Junghwan merasa tenang, tubuhnya mulai rileks, dan akhirnya rasa haus yang mengganggunya hilang. Ia menatap mamanya dengan tatapan penuh kebahagiaan, dan seolah tak ada lagi yang lebih baik dari momen ini. Mama adalah segalanya baginya—tempat ia merasa aman, dicintai, dan dilindungi.

Married by Accident - HoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang