Jake baru saja pulang dari kampus, dan begitu memasuki rumah, ia langsung melihat Jay duduk di ruang tamu, mata terpaku pada layar laptopnya dengan ekspresi serius. "Sedang apa, Hyung?" tanya Jake, merasa penasaran dengan suasana yang terasa berbeda dari biasanya. Ia mendekat dan sedikit mengintip, mencoba melihat apa yang sedang dikerjakan Jay. Namun, yang ia lihat justru membuatnya terkejut—Jay tampak seperti sedang membuat laporan atau dokumen yang tampaknya penting, namun Jake tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dilakukan oleh kakaknya itu.
Melihat keseriusan Jay, Jake tak bisa menahan untuk bertanya lagi. "Hyung serius mau jadi seperti Heeseung Hyung?" katanya, menyebutkan nama Heeseung, saudara mereka yang memang dikenal dengan ketekunan dan ambisi besar dalam pekerjaannya. Jake tahu bahwa Jay selalu menjadi sosok yang lebih santai dan cenderung tidak terlalu menunjukkan ambisi besar, jadi melihatnya seperti itu membuatnya penasaran. Apakah Jay sedang ingin berubah dan merelakan cita-citanya selama ini?
Jay mengangkat wajahnya sejenak, menatap Jake dengan raut wajah yang sulit dibaca. Ia menutup laptopnya perlahan, seolah ingin menjaga privasinya. "Aku nggak tahu, Jake," jawab Jay, suara agak serak. "Terkadang aku merasa seperti harus berusaha lebih keras, seperti Heeseung Hyung." Ia menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Merasa terjebak di tempat yang sama, nggak mau terus hidup dengan rasa ragu dan takut, seperti yang Hyung rasakan selama ini."
Jake terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Jay. Meskipun ia tahu Jay selalu berusaha tampil tenang dan tidak terlalu memperlihatkan keraguannya, kali ini ada sisi lain yang baru ia lihat. "Jadi, Hyung merasa nggak cukup?" tanya Jake, suaranya lembut, berusaha tidak terdengar menghakimi. Jay memandang adiknya dengan tatapan kosong, lalu mengangguk pelan. "Kadang aku merasa seperti aku nggak cukup baik, atau nggak cukup punya tujuan. Heeseung Hyung selalu punya arah, tapi aku… belum menemukan jalan itu." Jake merasa cemas, tetapi ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus bisa mendukung kakaknya itu.
Jay menyadari perubahan mendalam dalam diri Jake begitu mendengar jawabannya. “Lalu, bagaimana dengan kuliahmu, Jake?” tanya Jay, mencoba mengalihkan perhatian adiknya dari laptopnya yang masih terbuka. Tapi, jawaban yang ia terima justru membuatnya merasa cemas. Jake terdiam, matanya kosong, seolah hilang arah. Sesaat, suasana hening menyelimuti ruang tamu. Tak ada suara selain detak jam dinding yang terasa semakin berat. "Entahlah, Hyung," kata Jake pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Segalanya terasa seperti tak memiliki arti."
Jay mengerutkan kening, merasa khawatir melihat Jake yang biasanya ceria kini terjebak dalam kebingungannya sendiri. “Apa maksudmu, Jake? Bukankah kuliah itu penting untuk masa depanmu?” Jay mencoba mengerti, meskipun ia merasa tak sepenuhnya bisa menangkap apa yang sedang dialami adiknya. Jake menundukkan kepalanya, tak mampu menahan perasaan yang menguasainya. “Aku merasa seperti tidak tahu siapa diriku. Semua yang kulakukan terasa sia-sia. Semua orang punya tujuan, tapi aku?” Jake menggenggam erat tangan di dadanya, mencoba menenangkan dirinya, tapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa tenggelam dalam kebingungan. Jay terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Jake menundukkan kepala lebih dalam, seolah menghindari tatapan Jay yang penuh perhatian. “Aku merasa hampa, Hyung,” ucapnya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. "Sudah lama aku merasakannya, seperti ada kekosongan yang terus mengisi diriku, dan aku nggak tahu harus bagaimana." Ia mengangkat wajahnya sedikit, tapi tatapannya tetap kosong, seolah mencari-cari sesuatu yang tak bisa ia temukan. "Aku merasa seperti tidak punya arah hidup. Semua yang kulakukan sepertinya cuma rutinitas tanpa makna. Dan itu membuat semuanya semakin berat."
Jay merasa adiknya itu mengalami masalah psikologis, kata-kata yang keluar terasa begitu sulit untuk dipahami. "Itu kenapa nilaimu belakangan anjlok, ya?" tanya Jay, akhirnya menyadari keterkaitan antara perasaan Jake dan hasil akademisnya. Jake mengangguk lemah, ekspresinya semakin terpuruk. “Iya, mungkin itu juga. Aku nggak punya motivasi untuk belajar atau berusaha lebih. Kadang-kadang aku merasa seperti semua yang kulakukan nggak akan berpengaruh pada apapun. Aku... nggak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan." Kata-katanya keluar begitu jujur, tanpa menyisakan ruang untuk penyangkalan. Jay terdiam sejenak, merasakan betapa beratnya perasaan yang sedang dipikul oleh Jake. Ia tahu ini bukan hanya soal nilai atau kuliah, tapi lebih tentang pencarian jati diri yang sedang dialami oleh adiknya itu.
to be continue
27 NOV 2024thank you for the vote 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG | ON GOING
FanfictionTujuh bersaudara tinggal dalam satu rumah, tetapi masing-masing menyimpan luka batin yang tidak terlihat. Mereka tumbuh dengan cara yang berbeda dalam menghadapi tuntutan dan harapan dari keluarga. Kakak tertua merasa harus selalu sempurna, yang lai...