11

348 44 3
                                    

Jay menatap Heeseung yang tengah tenggelam dalam pekerjaannya di sudut ruangan. Jari-jari kakaknya bergerak cekatan di atas keyboard, sesekali diselingi tarikan napas panjang, menandakan betapa fokusnya ia pada apa yang dikerjakannya. Jay ingin sekali membuka mulut, meminta bantuan untuk memahami berkas-berkas rumit di tangannya. Namun, setiap kali ia hendak bersuara, ada rasa ragu yang menahan. Heeseung terlihat terlalu sibuk, terlalu serius, membuat Jay merasa sungkan untuk mengganggu. Akhirnya, ia hanya menelan niat itu dan memutuskan mencoba memahami berkas-berkas tersebut sendiri.



Namun, upayanya ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Beberapa bagian terasa masuk akal, tetapi sebagian besar isinya seakan ditulis dalam bahasa asing yang mustahil ia cerna. Semakin lama ia membaca, semakin kepalanya terasa berat, seperti hendak pecah oleh informasi yang tak sanggup ia pahami. Rasa frustrasi merayapi pikirannya, disertai penyesalan pahit. Dulu, ia pernah mengejek Heeseung karena sering terjebak dalam dunia kerja yang membosankan ini. Kini, ia sangat menyesal karena sekarang ialah yang terperangkap dan tak ada jalan keluar.


Jay melemparkan berkas-berkas itu ke meja dengan kasar, frustrasinya memuncak. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan, mencoba meredakan kepalanya yang terasa berdenyut. Tatapannya kembali tertuju pada Heeseung, yang masih sama—tenang, fokus, dan seolah tidak terusik oleh apapun. Ada perasaan iri yang menyelinap di hati Jay. Bagaimana mungkin Heeseung bisa begitu tenang menghadapi semua ini? Bagaimana mungkin ia mampu memahami tumpukan pekerjaan yang bagi Jay hanya menghadirkan kebingungan dan kelelahan?



Perasaan itu membuncah hingga Jay akhirnya berdiri, mengambil langkah kecil mendekati kakaknya. Namun, sebelum ia sempat memanggil, Heeseung tiba-tiba berhenti mengetik dan menoleh dengan ekspresi tenang namun penuh perhatian. "Butuh bantuan?" tanyanya singkat, seolah tahu apa yang sedang berkecamuk di kepala Jay. Jay terdiam, lidahnya kelu untuk mengakui bahwa ia membutuhkan pertolongan. Namun, tatapan Heeseung tidak menuntut, hanya menunggu dengan sabar. Dalam sekejap, perasaan sungkan Jay luruh. "Iya," jawabnya pelan. "Aku butuh bantuan."


Heeseung mengangguk kecil, lalu menggeser kursinya sedikit ke samping, memberi ruang di mejanya. "Bawa ke sini," ucapnya singkat tapi tidak terkesan memaksa. Jay menelan ludah, mengambil berkas-berkas yang sempat ia banting ke meja, dan mendekat. Ia merasa canggung, terutama karena ia tahu Heeseung pasti menyadari betapa kebingungannya Jay selama ini. Tapi tidak ada nada mengejek dari kakaknya, hanya ketenangan yang entah mengapa justru membuat Jay semakin merasa tidak enak.



Setelah Jay menyerahkan berkas itu, Heeseung mulai membacanya dengan seksama, jarinya menunjuk poin-poin penting sambil menjelaskan dengan nada yang jelas dan sabar. Jay mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk meski terkadang masih tidak sepenuhnya paham. Tapi ada sesuatu dalam cara Heeseung menjelaskan—ringkas, lugas, dan tidak membuat Jay merasa bodoh—yang sedikit demi sedikit membantu. "Kalau kau bingung lagi, jangan diam saja," ujar Heeseung di sela penjelasannya, tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. Jay merasa ada sengatan kecil di dadanya. Kata-kata itu sederhana, tapi penuh makna. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk mengakui keterbatasan yang ada pada diri kita.


Jay mengangguk pelan, meski rasa canggung itu belum sepenuhnya hilang. "Maaf," gumamnya, nyaris tak terdengar. Heeseung akhirnya menoleh, menatap adiknya dengan alis sedikit terangkat, seolah meminta penjelasan. Jay merasa kaku di tempatnya, tapi ia tahu ia harus mengatakan sesuatu. "Maaf karena dulu pernah ngejek soal ini. Aku pikir pekerjaanmu nggak lebih dari sekadar duduk-duduk dan main komputer. Ternyata..." Jay menggantungkan kalimatnya, tidak yakin bagaimana melanjutkannya tanpa terdengar bodoh.



Heeseung tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak penuh sindiran maupun amarah, melainkan sesuatu yang terasa menenangkan. "Tidak apa-apa," jawabnya. "Kadang kita baru mengerti sesuatu setelah mencoba sendiri." Ia kembali ke berkas di tangannya, memberikan penjelasan tambahan yang lebih sederhana, memastikan Jay bisa mengikuti. Jay memperhatikan dengan lebih serius kali ini, rasa frustrasi yang tadi menguasainya perlahan tergantikan dengan rasa hormat. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi meremehkan apa yang tidak ia pahami.


Malam semakin larut, tetapi Heeseung tetap dengan sabar membimbing Jay melewati setiap bagian berkas itu. Mereka berdua duduk berdampingan, dengan Jay sesekali mengangguk atau menulis catatan kecil di buku yang ia ambil entah kapan. Ia tak lagi merasa tertekan seperti sebelumnya. Penjelasan Heeseung, meskipun penuh detail, justru membuat Jay merasa lebih percaya diri. Ia mulai menyadari pola-pola yang sebelumnya tampak seperti teka-teki tak terpecahkan.



Saat Heeseung akhirnya bersandar di kursinya dan menghela napas panjang, Jay menatap berkas di tangannya dengan rasa lega. "Aku pikir kepalaku bakal pecah tadi," ujar Jay, setengah bercanda. Heeseung menoleh padanya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis. "Kau berhasil melewatinya. Tidak terlalu buruk, kan?" Jay tertawa kecil, meski suaranya terdengar lelah. "Lumayan buruk, tapi kurasa aku bisa mengatasinya kalau ada kau." Heeseung tidak menanggapi, hanya menepuk bahu Jay pelan sebelum berdiri. "Baguslah. Tapi lain kali, jangan tunggu sampai aku yang menawarkan. Tahu kau butuh bantuan saja sudah setengah jalan." Jay hanya mengangguk, menatap punggung kakaknya yang berjalan menjauh. Dalam hati, ia merasa beruntung memiliki seseorang seperti Heeseung di sisinya.



Sebelum tidur, Jay menulis pesan singkat di ponselnya untuk Heeseung: "Terima kasih, hyung. Aku akan lebih baik ke depannya." Setelah menekan tombol kirim, ia tersenyum sedikit, merasa lebih ringan. Mungkin masih ada banyak hal yang harus dipelajari, banyak tantangan yang menunggu di depan, tapi malam ini, Jay merasa sedikit lebih siap menghadapinya. Dengan bantuan Heeseung, ia belajar satu hal yang sangat berharga: bahwa dalam hidup, tak ada salahnya meminta bantuan, bahkan dari orang yang sering kita anggap sebagai lawan.







to be continue
27 NOV 2024




terima kasih atas support dan vote nya 🫶

terima kasih juga karena sabar menunggu 😭🫶

PULANG | END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang