Zara“Please.” Joji dan Dissy mengatupkan kedua tangan di depan dada. Wajah mereka memberengut, menatapku dengan tatapan penuh harap.
Aku ingin menolak tapi tak sampai hati. Terlebih jika mereka sangat berharap seperti ini. Lagipula tidak ada yang bisa menolak permintaan kedua anak ini.
Terlebih aku.
Akhirnya aku mengangguk. Joji dan Dissy langsung bersorak riang.
Apa yang sudah aku lakukan?
Menerima ajakan Joji dan Dissy untuk camping di halaman rumah adalah ide buruk. Pertama, aku hanya orang asing. Tidak seharusnya aku ikut menjadi bagian dalam tradisi bulanan yang selalu mereka lakukan bersama Pak Dante.
Dan kedua, aku dalam misi menghindari Pak Dante. Beruntung dalam seminggu ini dia begitu sibuk sehingga aku tidak pernah bertemu dengannya.
Kali terakhir bertemu, saat dia mengantarku pulang sehabis trekking di Sentul. Aku tidak akan pernah bisa lupa kejadian hari itu. Bahkan aku masih bisa merasakan telapak tangan Pak Dante yang kasar begitu menggelitik saat menyentuh wajahku.
“Begitu saya menciummu, saya tidak akan bisa menahan diri. Saya ingin lebih. Ini bukan tempat yang tepat untuk menciummu, Zara.”
Hampir saja dia membuatku mati berdiri di tengah curug. Sejak saat itu, aku tidak bisa hidup dengan tenang. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Pak Dante mampir ke ingatanku. Setiap malam begitu menyiksa ketika aku memimpikannya. Sebuah mimpi erotis yang membuatku terbangun dalam keadaan bersimbah keringat dan penuh gairah. Pak Dante membuatku frustrasi dalam hal seks.
Dan sekarang, ketika aku menerima ajakan Joji dan Dissy, sama saja dengan menggali kuburan sendiri.
Ketika Pak Dante mengantarku pulang, aku ingin menagih janjinya. Apakah rumahku tempat yang tepat baginya untuk menciumku? Kalaupun dia menginginkan lebih, aku tidak akan keberatan. Aku akan menyerahkan tubuhku kepadanya karena aku pun sangat menginginkannya.
Pak Dante tidak berkata apa-apa. Hanya basa basi yang membuatku semakin frustrasi. Aku jadi mempertanyakan pendengaranku, jangan-jangan itu semua hanya halusinasi saja, mengingat aku begitu menginginkannya sehingga tidak bisa berpikir jernih?
“Sudah siap?”
Sebuah suara berat menyapa pendengaranku. Aku mengutuk nasib yang tengah mempermainkanku. Aku memejamkan mata untuk mempersiapkan diri sebelum menghadap Pak Dante.
“Papa, Zara mau ikut.” Joji memberitahu.
Aku menghela napas panjang sebelum menghadap Pak Dante. Aku sudah mempersiapkan pembelaan, tapi semuanya menguar begitu melihatnya. Damn it, Pak Dante dalam seragam polisinya baru saja melemparkanku ke jurang frustrasi.
“Hai Zara,” sapanya ringan, seolah seminggu yang lalu dia tidak membuat jantungku jumpalitan karena pengakuannya.
Aku melambai kikuk, tidak bisa berkata apa-apa.
“Kalian sama Zara dulu, ya. Papa ganti baju dulu.”
He’s so damn fit.
Mataku mengikuti Pak Dante yang beranjak menuju kamarnya. Seragam itu memeluk tuhuhnya dengan pas. Pak Dante memiliki tubuh tegap dan kekar yang membuatnya terlihat mempesona dalam pakaian apapun dan ini kali pertama aku melihatnya dalam pakaian kebesarannya itu. Damn, he’s a walking feromone.
Tarikan Joji membuatku tersadar. Buru-buru aku mengalihkan pandangan sebelum Joji dan Dissy melihatku memelototi ayahnya.
Aku mengikuti mereka ke halaman belakang. Berbatasan dengan kolam, halaman itu tampak rapi dan cantik dengan rumput hijau yang dipangkas rapi serta bunga warna warni yang asri. Wajahku langsung memerah saat mengingat ketika Pak Dante berkebun di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomanceKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...