38. The Decision

4K 507 24
                                    

Zara

Dasar bodoh. Tolol. Tidak tahu diri.

Tak terhitung berapa banyak umpatan yang kuberikan kepada diriku sendiri. Sejak Dante meninggalkanku, yang bisa kulakukan hanya menangis dan mengutuk kebodohanku.

Aku yakin Dante akan datang dan mengonfrontasi soal kunjunganku ke lapas. Saat di titik terendah, aku ingin berkata yang sebenarnya. Namun saat melihat Dante, ketakutan mengambil alih. Aku begitu mencintainya dan tidak ingin kenyataan membuat Dante membenciku.

Sehingga aku melakukan hal bodoh itu.

Aku sengaja menggoda Dante, berharap bisa menunda waktu sedikit lebih lama. Mungkin nanti aku bisa mengumpulkan keberanian dan berkata jujur di hadapan Dante.

Dante melihat niat lain di balik ciumanku, dan dia membuatku mau tidak mau harus menghadapi kenyataan. Saat Dante menatapku dan memintaku untuk jujur, aku malah melakukan hal bodoh lainnya.

Dengan berbohong di depan matanya.

Sekarang Dante meninggalkanku. Tak peduli aku terisak dan memanggil namanya hingga suaraku habis, Dante tidak kembali.

Aku berpikir kenyataan yang akan membuat Dante menjauh. Nyatanya, justru kebodohanlah yang mendorongnya pergi.

Tangis yang tak berhenti, juga penyesalan yang datang belakangan, membuat tubuhku menyerah. Aku tidak bsia tidur dengan nyenyak, karena bahkan di alam mimpi pun, penyesalan masih menghantui.

Aku bangun pagi ini dengan kepala berat akibat tidur dalam keadaan menangis. Mataku bengkak, bahkan makeupdan kacamata tidak mampu menyembunyikannya. Aku pernah melihat masa depan yang gelap, tapi sejak ada Dante, kegelapan berangsur menghilang. Perlahan, dia memberikan cahaya ke dalam hidupku.

Bukan hanya Dante. Joji dan Dissy juga memberikan hal yang sama. Mereka memberiku harapan dan percaya bahwa masih ada hal baik di hidupku.

Mengingat Joji dan Dissy membuatku mengenang kembali percakapan dengan Papa. Fakta itu seperti pengingat bahwa mungkin ini keputusan terbaik. Dante telah pergi, artinya aku melindunginya dan anak-anaknya dari ancaman yang tanpa disadari mengikutiku ke mana pun aku melangkah.

Dante tidak akan memaafkanku jika terjadi sesuatu kepada buah harinya. Dan aku juga tidak akan memaafkan diirku jika kehadiranku mengancam Joji dan Dissy. Sakit yang kurasakan sekarang tidak sebanding dengan sakit yang nanti menimpa jika terjadi sesuatu pada Joji dan Dissy atau ketika Dante menyadari kehadiranku hanya membawa bahaya.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menanamkan ke dalam hati bahwa ini yang terbaik.

***

“Lo ,mnyesal.”

Aku menghela napas panjang. “Ini yang terbaik, Dis.”

Gadis menatapku tajam. “Lo menyesal,” ulangnya.

Kali ini, aku tidak menjawab.

Keterdiamanku membuat Gadis semakin bersemangat. “Lo menyesal karena tahu sudah salah mengambil keputusan. Lo sadar pilihan lo salah, makanya lo menyesal.”

“Ini yang terbaik, Dis,” ulangku.

“Alah bullshit. Kalau memang ini yang terbaik, lo enggak bakal menangis semalaman.”

Aku mengusap air mata yang menggenanf di ujung mata dan siap untuk tumpah kapan saja. “Gue menangisi hati gue yang hancur, Dis.”

“Lo sendiri yang bikin hati lo hancur.”

Aku menggeleng, meski dalam hati setuju dengan peringatan Gadis.

“Ra, lo dan bokap lo mungkin kecewa karena dulu enggak ada yang membela kalian. Bokap lo terpaksa mengambil keputusan ini karena enggak mau lo menderita. Masalahnya saat itu enggak ada yang bisa kalian percaya,” ujar Gadis. Dia menatapku tajam, membuatku menelan kembali bantahan yang siap terlontar. “Kalau dulu sudah ada Dante, apa bokap lo akan mengambil keputusan yang sama?”

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang