Matahari London sudah lama tenggelam ketika MJ akhirnya sampai di depan pintu apartemen Oliver. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, bukan karena dingin musim gugur yang menggigit, tapi karena air mata yang sudah dia tahan sejak turun dari pesawat akhirnya mendesak untuk keluar. Oliver membuka pintu, matanya langsung melebar melihat keadaan kakaknya—rambut berantakan, mata bengkak, dan tubuh yang terlihat begitu lelah seolah menanggung beban yang terlalu berat.
"Mici—"
MJ tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia langsung menghambur ke pelukan adiknya, isakan yang ditahan sejak Las Vegas akhirnya pecah. Oliver, yang tidak pernah melihat kakaknya sehancur ini sejak drama dengan Arlo empat tahun lalu, hanya bisa memeluknya erat.
"Shh," Oliver mengelus rambut kakaknya lembut, menuntunnya masuk ke apartemen tanpa melepaskan pelukan. "I got you."
Mereka duduk di sofa—sofa yang sama tempat mereka menghabiskan banyak malam menonton balapan bersama, tempat MJ selalu curhat tentang pekerjaannya, tentang segalanya. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, MJ terlihat begitu kecil dalam pelukan adiknya, bahunya berguncang dengan isakan yang tak terkendali.
"It was all fake," MJ akhirnya berbisik di antara tangisnya. "Everything... it was just PR."
Oliver mengerutkan dahi. "Maksud kamu apa?"
MJ menarik diri sedikit, menyeka air matanya dengan tangan gemetar. "Aku dan Jeff.. it wasn't real. Not at first." Dia tertawa getir. "Kita cuma pura-pura. Untuk citranya, untuk sponsornya, untuk.."
"Tunggu," Oliver memotong lembut. "Kamu bilang 'not at first'. Emang ada yang berubah?"
MJ menatap adiknya, matanya berkaca-kaca. "Semuanya berubah, Oliver. Somewhere between the fake smiles and the staged photos.. It became real." dia menelan ludah, "it felt real."
"I knew it," Oliver menghela napas. "Aku udah curiga ada sesuatu yang nggak beres dari awal. Tapi kadang... cara Jeff memandang kamu, cara Jeff perhatian sama kamu," dia menggeleng pelan. "Sama sekali tidak terasa kalau hubungan yang kalian miliki cuma pura-pura. Jadi, aku pikir itu cuma perasaan aku aja,"
"Itu masalahnya," MJ berbisik. "Di pertengahan musim, we decided to stop pretending. Jeff bilang... dia bilang dia ingin hubungan kita jadi nyata. Dia bilang aku membuat dia menjadi lebih baik," Air mata mulai jatuh lagi. "Dan aku percaya dia, Oliver. Seperti orang bodoh, aku percaya semua perkataannya."
Oliver meremas tangan kakaknya. "Gimana ceritanya, Kak?"
"Nggak tahu. Dia berubah," MJ menatap kosong ke depan. "Sejak Brazil ada sesuatu yang membuat dia menarik diri. Dia jadi beda. Dia jadi jauh, dingin..." dia menggeleng, tidak sanggup melanjutkan.
"Dan Vegas?"
MJ menutup matanya, membiarkan air mata mengalir bebas. "Dia kasih tahu Eli kalau ini semua cuma PR. That I was just... convenient. The perfect choice to get Arlo jealous." Suaranya pecah. "Di depan semua orang, Oliver. Seperti beberapa bulan terakhir nggak ada artinya untuk dia."
"Itu nggak masuk akal sumpah," Oliver mengerutkan dahi. "Jeff... gimana dia ngejagain kamu, gimana dia—"
"Mungkin itu yang membuat aku jadi semakin sakit," MJ memotong pelan. "Karena untuk beberapa saat, aku benar-benar mikir kalau.." dia tidak sanggup melanjutkan.
Oliver memeluk kakaknya lagi, lebih erat kali ini. "You fell in love with him."
Bukan pertanyaan. Pernyataan.
MJ mengangguk di bahunya, air matanya membasahi kaos Oliver. "Dan yang paling bodoh? I still do. Even after everything... I still love him."
"Oh, Mici..."
"Aku kira aku udah jauh lebih kuat sekarang," MJ terisak. "Aku pikir setelah semua yang terjadi dengan Arlo, aku belajar dan menjadi lebih baik. Tapi Jeff... dia membuat aku begitu mudah untuk percaya. The way he'd hold me after nightmares, the way he'd remember little things about me..."
"Maybe that's why it was real," Oliver berbisik.
"The little things. The moments no one was watching."
MJ menggeleng lemah. "Sekarang nggak penting, kan? Dia udah buat pilihannya."
Oliver terdiam sejenak, tangannya masih mengelus rambut kakaknya. "You know what's weird? Setiap kali aku ngelihat Jeff di paddock akhir-akhir ini, dia terlihat... hancur. Like he's fighting something bigger than himself."
"Jangan," MJ memohon. "jangan buat aku berharap, Oliver."
"I'm not," Oliver menarik diri, menatap kakaknya serius. "I'm just saying... maybe there's more to this story than what we know. Maybe he's hiding something, he's a man full of secret after all, Mici."
MJ tersenyum sedih. "Or maybe I'm just not meant for this world. The glamour, the politics, the constant pretending..." dia menggeleng. "Maybe I should just stick to fashion journalism. At least there, hearts don't get broken quite so publicly."
Oliver memeluk kakaknya lagi, membiarkan keheningan mengisi ruangan sementara isakan MJ perlahan mereda. Di luar, London tetap hidup dengan hiruk pikuknya, tapi di apartemen ini, waktu seakan berhenti—memberikan ruang untuk seorang kakak menumpahkan lukanya dan seorang adik yang hanya bisa memeluknya erat, berharap itu cukup untuk menyembuhkan hati yang sekali lagi hancur karena terlalu berani untuk percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Number Five [TERBIT]
Romance[TELAH DITERBITKAN dan TERSEDIA DI GRAMEDIA] Michelle Jane Kennedy, seorang jurnalis fesyen, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah ditugaskan mewawancarai Jeff Gautama, rekan setim adiknya di F1. Jeff, seorang pembalap berbaka...
![Rule Number Five [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/377730712-64-k579776.jpg)