38: The Sudden News

5.3K 540 33
                                        

❤️‍🔥 500 votes and 100 comments for next part❤️‍🔥

MJ masih ingat jelas bagaimana rasanya jatuh. Ada momen singkat sebelum gravitasi benar-benar menarikmu ke bawah—detik-detik kosong di mana segalanya seolah berhenti. Lalu, rasa sakit itu datang. Perlahan, tapi pasti, menghantam dalam gelombang yang tak bisa dihentikan.

Pagi itu, rasanya sama persis. Ketika ponselnya mulai bergetar tanpa henti, notifikasi dari media sosial membanjiri layar. Jemarinya gemetar saat membuka unggahan Jeff.

"Sometimes paths that seem meant to cross are only temporary intersections. @michellejane and I have decided to go our separate ways. Thank you for respecting our privacy during this time."

Decided.

Seolah-olah ini keputusan bersama. Seolah-olah MJ duduk di sampingnya, setuju pada setiap kata. Padahal kenyataannya, Jeff baru saja menghancurkan semuanya. Sepihak. Tanpa peringatan. Tanpa penjelasan.

Kata-kata itu meluncur dengan indah—terlalu indah untuk sesuatu yang begitu kejam. Tapi Jeff memang selalu begitu, bukan? Pandai membuat kehancuran terdengar seperti pilihan yang bijak. Seperti ini adalah jalan yang mereka rencanakan bersama, bukan sesuatu yang dipaksakan oleh ego dan kebohongannya.

MJ menatap layar. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak, tangan Jeff sudah menyusun narasi baru, menghapus jejak yang pernah mereka buat bersama. Dan sekarang, ribuan orang tahu sebelum dia sempat menerima kenyataan itu sendiri.

Ponselnya terus bergetar—panggilan dari Haute, pesan dari teman-teman, notifikasi tag dari media sosial. Tapi MJ hanya bisa menatap kosong kata-kata di layarnya, mencoba memahami bagaimana seseorang bisa begitu kejam untuk mengakhiri sesuatu melalui media sosial.

"MJ?" Suara Gemma memecah keheningan. Sahabatnya itu berdiri di ambang pintu apartemen dengan ekspresi khawatir. "Gue udah lihat postingan Jeff..."

MJ tersenyum getir. "Ternyata Jeff nggak beda jauh dari Arlo."

"Mici..."

"Nggak, gue serius," MJ tertawa, tapi tawanya kosong. "Seenggaknya Arlo ada nyali untuk putus langsung. Jeff? He couldn't even give me that courtesy."

Gemma melangkah masuk, duduk di samping MJ. "Lo udah coba telepon dia?"

"Gue udah telepon. Kirim chat," MJ menggeleng. "Nothing. It's like... he just disappeared. Poof. Like everything we had meant nothing."

"Mungkin ada penjelasannya—"

"Penjelasan?" MJ bangkit, amarah yang ditahannya sejak tadi akhirnya meledak. "For what, Gem? For announcing our breakup on social media without even telling me? For making me look like a fool in front of everyone?"

Dia mengambil ponselnya, membaca komentar yang terus bermunculan. "'So sad to see them end', 'They were perfect together', 'Wonder what happened.'"

Air mata mulai jatuh, tapi MJ menghapusnya kasar. "Lo tahu apa yang lebih menyakitkan? Sesaat, gue benar-benar berpikir dia berbeda. Bahwa mungkin, just maybe, apa yang kita punya itu nyata."

"Itu nyata kok," Gemma berkata pelan, nyaris berbisik. "Gue lihat cara dia memandang lo."

"Nyata?" MJ tertawa pendek, getir. "Atau gue cuma melihat apa yang ingin gue lihat? Ya Tuhan, gue bodoh banget."

"Lo nggak bodoh," Gemma berdiri, meraih tangan MJ dengan lembut tapi tegas. "Lo lagi terluka. Itu beda."

MJ menatap sahabatnya, air mata kini mengalir tanpa bisa dihentikan. "Gue percaya sama dia, Gems. Setelah semua yang terjadi sama Arlo, setelah semua tembok yang gue bangun... gue biarkan dia masuk. Dan dia..." Suaranya pecah. "Dia bikin semua ketakutan gue jadi terbukti benar."

Rule Number Five [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang