Pagi itu, Shani terbangun lebih cepat. Tak ada kata terlambat seperti sebelumnya. Nyatanya dia kembali ke sifat lamanya; tak membiarkan Gracia yang lebih dulu membuka mata dan membereskan semua hal didalam rumah.
Tirai abu abu di kamar mereka Ia sibak perlahan mempersilahkan sang mentari menerangi ruang kamar yang semalam di lingkupi oleh kegelapan. Tak dipungkiri, berharap hal itu akan membangunkan gadisnya. Tapi sepertinya Gracia enggan membuka mata lebih awal hari ini. Dan Shani pun tak akan membangunkan. Biarlah sang gadis lebih lama memejam. Dia akan sangat sibuk hari ini.
Menoleh ke arah ranjang dimana tubuh itu rapat tertutup selimut. Sedang mimpi apakah gadisnya itu sekarang? Begitu damai tidurnya dengan senyuman yang tetap mengembang diwajahnya.
Tapi sekiranya, kedamaian itu bertahan padanya hanya sampai 10 menit. Karena di menit selanjutnya, raut wajah si gadis nampak berubah; bergerak tangannya meraba raba sekitar ranjang masih dengan mata memejam. Wajahnya begitu serius, keningnya mengkerut entah apa yang mengganggu tidurnya. Tersenyum lagi gadis itu kemudian saat tangannya menggapai guling dan langsung membawanya ke dalam pelukan.
Tertawa kecil si gadis Indira. Ada ada saja tingkah laku gadis berparas cantik dan manis miliknya itu.
Meninggalkan keheningan yang kembali menyapa, Shani memutuskan untuk melakukan aktivitas lain di luar kamar. Membersihkan dan menyiapkan sarapan pagi yang mungkin akan terlambat.
Hingga suara tangis mengambil segala atensinya. Panik lah dirinya tapi tak di pungkiri ada kelegaan tersendiri saat Ia membuka kamar, saat melihat gadisnya terduduk dengan derai air mata disana.
Senyuman lebar Shani beri. Syukurlah gadisnya kembali ke setelan awal; mode bayi yang Ia sukai. Melihat Gracia yang liar 2 malam lalu masih sangat mengejutkan dirinya.
"Hey, bangun tidur kok nangis? Kenapa sayang?" pertanyaan itu keluar seiring Shani mengambil posisi duduk di sebelahnya. Tangannya terlihat lembut mengelus kepala Gracia yang tertunduk; yang wajahnya dihalangi oleh kedua tangannya.
"Cici.. Hiks... Cici jahat... Hikss... Cici jahat udah ninggalin Gege sendirian"
Semakin lebar senyum seorang Indira melihat kegemasan ini. "Maaf ya sayang, aku cuma di dapur kok buatin kita sarapan" jawabnya
"Tapi..Hikss..Tapi jangan tinggalin Gege.. Hikss.. Gege nggak suka..Gege..Hiks..Gege mau liat mukanya cici kalau Gege buka mata.. " jawab gadis itu masih dengan isakannya. "Tapi tadi..hiks..Gege nggak liat cici"
"Iya sayang. Maafin aku yaa.." dan Shani cuma bisa meminta maaf. Sepertinya dia lupa Gracia punya mode tantrum ini saat pagi. "Udah jangan nangis lagi" dia tarik kedua tangan Gracia yang masih menghalangi wajah, lalu dia usap pipi itu menghapus air mata. "Udah yaa.. Gegenya cici jangan nangis lagi" bujuknya .
"Ya udah. Tapi Gege mau peluk cici"
"Boleh. Mau sambil di pangku?"
"Iya" angguk Gracia tak menolak. Alhasil dia melemparkan selimut yang masih membungkus kaki. Ia merangkak kecil pada Shani dan segera naik mengambil posisi di pangkuan gadis cantik itu. Erat lingkaran tangannya di leher, nyaman kepalanya saat mendarat sempurna di bahu lebar gadis Natio itu.
"Cici?" panggilnya kemudian dengan mata yang sudah memejam.
"Iya sayang?" balas Shani tak kalah lembutnya.
"Bahu cici buat Gege nyaman kalau nyender kayak gini" ucap si manis menikmati sapuan tangan Shani di punggungnya. "Tau nggak penggemar nyebut cici apa karena bahu lebar cici ini?"anak itu masih mengeluarkan kalimat.
Mengernyit seorang Shani dengan arah pembicaraan Gracia yang tiba tiba. Meskipun kini dia sedikit khawatir dengan apa yang dimaksudnya. Ajaran penggemar tak selalu bagus untuk ditiru. Dia cuma was was.