Levine kembali pada sikapnya. Acuh, fokus pada buku bacaannya yang lumayan tebal. Tapi bukan berarti ia tidak menyadari setiap gerakan gadis berambut pirang di hadapannya. Beberapa kali ia mendegar helaan nafas panjang dari gadis itu. Tidak hanya itu. Ia juga mendengar suara halus dari jemarinya saat menekan tombol-tombol pada keyboard laptopnya yang selalu di akhiri dengan helaan nafas putus asa.
Levine menggelengkan kepalanya. Ia menutup bukunya lalu menatap gadis itu lekat-lekat. Jelas terlihat gadis itu sedang mengalami kesulitan.
"Kenapa?" tanya Levine akhirnya dengan suara lirih agar tidak mengganggu pengunjung lainnya.
Nampak gadis itu terkejut. Levine menaikkan alisnya sebelah saat gadis itu menegakkan wajahnya penuh tanya. Keadaan terbalik bukan? Seharus Levine yang memasang tampang penuh tanya, kenapa dia?
"Aku?" tanyanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri.
Levine tertawa kecil. "Memangnya ada yang lain?"
Gadis itu membulatkan mulutnya kemudian menunduk gugup. Levine berdecak, memangnya dirinya begitu menyeramkan apa sampai gadis itu takut menatapnya?
"Tidak. Aku.., aku hanya kehilangan fokusku," jawabnya lirih.
"Aku mengganggumu, heh?"
"Tidak. Bukan -bukan itu. Hanya saja...,"
Gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya meringis singkat kemudian kembali menundukkan kepalanya. Tak lama kembali terdengar suara halus efek dari ia memencet tombol-tombol keyboard.
Levine menggeleng pelan. Ia kembali melanjutkan bacaannya. Beberapa kali ia mengerutkan keningnya, mencoba memahami kata per kata dari bacaan berat itu. Ia menghela nafasnya pelan. Kepalanya dirasa mulai pening akibat bekerja seharian ditambah bacaan berat itu. Ia menegakkan wajahnya. Nafasnya tertahan ketika untuk kesekian kalinya ia mendapati gadis di hadapannya menatapnya dengan tatapan memuja. Levine mendengus samar. Ia menutup bukunya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Salah satu ujung jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.
"Sepertinya memang aku menganggu konsentrasimu," tembak Levine membuat gadis itu terkejut. Ada rona merah di sana dan ia menyembunyikannya dengan cepat. Gadis itu terlihat gugup.
"Oh, eh. Sebenarnya tidak begitu. Aku...,"
"Okay, maafkan aku sebelumnya. Aku akan pergi dari sini, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Sekali lagi maaf,..."
"Flavie, Flavie Morisson," ucapnya menyebutkan nama lengkapnya.
"Ya, Flavie Morisson," sahut Levine tersenyum sopan. Ia beranjak bangun meraih ponsel dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Ia meninggalkan bukunya begitu saja.
"Tunggu!!"
Levine menghentikan langkahnya demi mendengar suara yang menahannya. Tak lama ia mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Kau belum menyebutkan namamu tadi," ucapnya pelan.
Oh, my! Levine membalikkan badannya. Tersenyum singkat.
"Namaku tidak penting, Nona Flavie."
"Kau tidak berniat melanjutkan bacaanmu?"
Levine menggelengkan kepalanya. Ia mengangkat tangannya setinggi dada, melirik jam yang melingkar di sana. Sudah cukup sore.
"Maaf, aku harus kembali.Mungkin lain kali aku bisa melanjutkan bacaanku. Buku itu akan selalu ada di sana bukan?"
Levine melirik gadis itu. Ada sedikit kekecewaan di sana, seakan sedang berteriak -tapi tidak akan ada aku lagi di sana-. Gadis itu terlihat sedang menggigit bibir dalamnya. Sorot matanya meredup. Levine menggaruk kepalanya, bingung. Apa yang bisa ia lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Novel
ChickLitTentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @phantomID *yang nunggu-nunggu abang Levine, adik dari Abang Esen, ini diaa.. Juni 2017