Bab 15

13.4K 1.1K 87
                                    

"Kisah apa yang akan kau ceritakan padaku?" tanya Flavie sambil membuka buku psycology itu di halaman Kata Pengantar.

"Aku kenal seseorang. Dia -cukup dekat denganku. Tampan...."

"Dia laki-laki?"

Levine menganggukkan kepalanya. Dia terdiam beberapa saat untuk mengambil napas.

"Dia dulu seorang anak yang bahagia. Teramat bahagia. Terlebih ayah dan ibunya sangat menyayanginya. Tapi berawal dari kisah buruknya. Dia tidak seberuntung yang kita kira. Kehadirannya tidak diharapkan siapapun. Ibu kandungnya meninggalkannya di depan pintu apartemen ayahnya. Dia adalah hasil hubungan di luar nikah."

"Lalu?"

"Ayahnya sebenarnya tidak menyukai ibunya. Tapi kau tahulah, cara licik seorang perempuan jalang."

Flavie menganggukkan kepalanya. "Okay, aku mengerti. Lalu?"

"Ayahnya yang tidak tahu menahu tentang mengurus bayi, entah atas dasar apa, menitipkannya pada seorang wanita yang untungnya sangat menyayanginya."

"Jadi, ibunya itu bukan ibu kandung?"

Kali ini giliran Levine yang menganggukkan kepalanya. Ada rasa tercubit yang berusaha dia tutupi dari gadis itu.

"Tiga tahun kemudian ayahnya datang mencarinya. Lalu beberapa bulan kemudian mereka memutuskan menikah diam-diam. Kebahagian mereka tidak lama. Karena ibu kandungnya datang terus menerus menerornya untuk mengambil anak itu demi mendapatkan kembali ayah dari anak itu. Dia bekerja sama dengan ibu dari ayah itu. Kau pernah mendengar istilah mother complex?"

"Ya. Pernah." Flavie kini menopang dagunya, mendengar dengan cermat setiap kalimat yang keluar dari bibir merah itu.

"Tapi aku tidak tahu pasti. Yang jelas, dia begitu menyayangi ibu angkatnya. Sampai-sampai dia menjerit setiap kali mereka menyakiti ibu angkatnya.

Dan mungkin dari kenangan-kenangan buruk itu, dia tumbuh menjadi sosok yang lain. Dia selalu mengalami ketakutan-ketakutan bahwa orang yang dia cintai akan meninggalkannya. Itu terjadi di saat titik terburuknya. Dan parahnya, dia sama sekali tidak bisa jauh dari ibunya."

Flavie seperti semakin terbawa suasana. Ia merasakan sendiri kesesakan itu yang datang secara alami. Ia seperti diputar oleh imajinasinya seakan dia sendiri yang memiliki saudara seperti itu. Padahal pria ini hanya menceritakan tentang temannya.

Beberapa kali dia menarik napasnya dalam-dalam. Penilaiannya, pria ini sangat pandai mengolah kata dan menyampaikannya dengan begitu apik padanya sehingga dia ikut merasakan atmosfer kesedihan itu. Dia bahkan melihat mata pria itu berkaca-kaca.

"Dia tumbuh menjadi sosok yang tak tersentuh di luar. Tapi begitu hangat ketika berhadapan dengan adik-adiknya, ayahnya dan terlebih ibunya."

"Apa dia pernah jatuh cinta? Maksudku... selama hidupnya?"

Dia melihat Levine tersenyum pedih. Matanya terlihat menyimpan mendung. Dia tidak mengerti kenapa Levine terlihat begitu menghayati perannya sebagai pencerita. Atau memang hanya karena dia adalah teman Levine? Teman dekatkah, seperti seorang sahabat? Flavie bergerak menyelipkan rambut pirangnya di balik daun telinganya.

"Ya. Tentu saja. Setiap orang pasti pernah mengalami jatuh cinta kan? Tapi tidak semua orang bisa beruntung seperti sebuah dongeng." Levine menghela napasnya. Dia tampak sedang merileks-kan tubuhnya. Ada emosi tersendiri yang sempat terlihat oleh Flavie.

"Maksudmu?" Flavie mengerjabkan matanya.

"Dia pernah jatuh cinta. Untuk yang pertama kalinya dengan seorang wanita yang lebih dewasa darinya. Tapi berakhir ketika wanita itu begitu egois memberikannya untuk wanita lain. Tapi kemudian dia bertemu lagi dengan seorang wanita.

Kamu dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang