Gadis itu menunduk dalam menyembunyikan rona merahnya saat Meyrness kembali menggodanya. Sementara Meyrness malah terkikik, bertambah semangat untuk menggoda Jingga.
"Enough, Meyrn!" desis Jingga melirik sebal.
"Kyaaaa.. aku bisa melihat warna merah di pipimu," kikiknya lagi. "Apa --apa kau ehmm.. merindukannya?"
Jingga mendelik sebal. Ingin rasanya ia menemukan lakban saat itu juga untuk menutup mulut sialan gadis berambut pirang itu. Kalau sudah tahu ya jangan diperjelas!
"Tidak!" ketus Jingga mengerucutkan bibirnya."
Meyrness malah tertawa keras. Ia sengaja mengerlingkan matanya, membuat Jingga mengerang kesal. Kedua tangannya kini menutup wajahnya geram.
"Tidak apa-apa kalau kamu memang merindukannya. Aku bersedia membantumu untuk mencari pria itu. Bagaimana?"
"Hell! No!!" pekik Jingga frustasi. Meyrness kembali tertawa, kali ini lebih kencang.
Flavie terus mengetikkan kata-katanya. Matanya menatap lurus laptopnya. Sesekali ia membetulkan letak kaca matanya. Jemarinya menari lincah seiring mulutnya komat-kamit mengatakan setiap kata yang ia ketik tanpa suara. Ia menghela nafasnya sejenak. Tangannya bergerak mengambil cangkir teh hijau hangatnya, menyesapnya perlahan tanpa melepas tatapannya dari layar laptopnya. Wajahnya begitu serius membaca kembali hasil ketikannya.
Ia membuang nafasnya, kembali me-rileks-kan tubuhnya yang mulai terasa pegal. Ia membenarkan letak duduknya kemudian mencomot kentang goreng. Mulutnya mengunyah pelan dan kembali menyesap teh hijau hangatnya. Jemarinya kembali mengetikkan kata-katanya. Ia begitu serius menekuni laptopnya tanpa memperhatikan suasana Cafe yang mulao rame orang-orang pulang kantor. Ia juga tidak menyadari ketika seseorang memperhatikannya sejak tadi. Bahkan ketika orang itu mendekat dan duduk di hadapannya.
"Sebegitu pentingnya melanjutkan sebuah cerita sampai kamu melupakan kebutuhanmu? Kamu melewatkan makan siangmu, Nona Flavie." Suaranya terdengar rendah, santai namun menyiratkan nada kemarahan.
Flavie tersentak. Ia menegakkan wajahnya. Melihat sosok itu, ia tak sanggup menutupi keterkejutannya. Tubuhnya menegang saat matanya bertemu dengan mata tajam itu.
"Le-vine?" ucapnya terbata.
Pria itu menaikkan alisnya, masih menatap lurus Flavie seakan siap menghukumnya. Buru-buru Flavie menekan tombol save sebelum pria dengan tatapan intimidasi itu semakin mengeraskan rahangnya.
"Makan!" titahnya.
Dalam hati Flavie mendengus. Ia terkadang pusing dengan pria yang akhir-akhir ini menjadi teman dekatnya. Terkadang pria itu manis, terkadang lembut. Terkadang menyebalkan, tidak jarang ia bersikap lucu menggemaskan atau malah menakutkan seperti kali ini. Tapi semua itu malah membuatnya menjadi merindukan pria itu. Bisa kasih tau itu perasaan apa? Ini, sungguh gila. Di luar logika.
"Hey!"
"Iya!" sahut Flavie cepat, melambaikan tangannya memanggil seorang pelayan. Ia kemudian memesan steak kesukaannya. Tidak nyambung dengan suasana dan waktu tapi itu lebih baik daripada pria itu kembali memarahinya.
"Apa?" tanya pria itu menaikkan alisnya saat Flavie menatapnya.
Seketika Flavie menundukkan kepalanya. Pria ini membuatnya menciut seketika.
"Kalau ingin bertanya, tanyakan segera. Aku tidak akan memakanmu, Nona Flavie."
Flavie meremas jemarinya. Ia ragu untuk menanyakannya tapi.., Ia menegakkan wajahnya saat pria itu menyentuh tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Novel
ChickLitTentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @phantomID *yang nunggu-nunggu abang Levine, adik dari Abang Esen, ini diaa.. Juni 2017