Bab 11

11.5K 1K 41
                                    

"Kak Esen, Vine pinjam dulu laptopnya ya? Nanti Vine kembalikan," bujuk Levine pagi itu ketika Kakaknya menyembunyikan laptop milik Flavie. Pria itu bersikeras kalau itu adalah miliknya.

Pria itu hanya menatapnya lurus tanpa ekspresi. Anna yang melihatnya kemudian menghampiri Levine, menepuk bahu Levine pelan.

"Tapi ini bukan milikku, Mom. Milik Flavie. Dia membutuhkan laptop itu untuk meneruskan pekerjaan," jelas Levine mengacak rambutnya sedikit frustasi karena ia juga harus segera mengantar laptop itu kemudian menghadiri meeting sementara waktu sudah cukup mepet.

"Kalau begitu berikan alamatnya biar nanti Mom antar ke temanmu itu. Mom tau kamu juga harus segera sampai di kantor."

"Dan Mom meninggalkan Kak Esen hanya dengan Bibi Em? Oh, please, Mom."

"Mom akan membawanya. Kamu tenang saja. Sekalian nanti Mom ke Cafe. Mom ada perlu sama Leon mengenai pengembangan Cafe."

"Tapi...,"

"She's mine."

Levine mengembuskan nafasnya begitu mendengar kakaknya bergumam lirih sambil berlalu ke dalam kamarnya. Ia mendengar suara pintu terkunci. Matanya beralih menatap Anna dengan bahu terangkat.

"Jadi di mana alamatnya?" tanya Anna membalas tatapan Levine.

"Aku belum tahu di mana dia tinggal. Nanti aku telfon Mom. Oya, kalau ada apa-apa --umh, mengenai Kak Esen, Mom langsung telfon Vine ya?"

"Tentu saja. Tapi, Mom rasa kakakmu akan baik-baik saja. Kamu fokus saja pada pekerjaanmu. Mister Brien mungkin sudah menunggumu. Ayo, lekas berangkat, Sunny," ujar Anna, sedikit berjinjit mengecup ujung hidung Levine lalu berganti dengan Levine yang mencium kening Anna seperti biasanya.

Tapi aku tidak akan memberikan alamat Flavie pada Mom. Aku juga tidak akan membiarkan Mom keluar membawa Kak Esen. Karena aku tidak ingin orang-orang memandang kakak rendah. Aku tidak ingin mereka berkata kakak itu idiot, gila, sakit jiwa.. Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan kakakku mendengar kata-kata itu seperti yang nenek Dewi katakan tiga tahun lalu di pemakaman kakek. Tidak. Itu yang pertama dan yang terakhir.

Levine segera merapikan jas-nya kemudian mengambil ponselnya, menghampiri kakaknya lewat pintu penghubung kamarnya dengan kamar kakaknya.

"It's mine," ujar kakaknya memberikan tatapan tajamnya.

Levine tersenyum sedih. Ia menghela nafasnya pelan, berhenti dari langkahnya ketika kakaknya mundur beberapa langkah menghindarinya. Ia paham, pria itu hanya takut kalau Levine akan merebut sesuatu darinya.

"I know, Kak Esen. Vine hanya ingin mencium kakak seperti biasa. Vine mau berangkat ke kantor. Nanti kalau aku bertemu dengan gadismu, aku akan bilang kalau kakak mencintainya."

"Sangat," ucap kakaknya masih dengan tatapan lurus, tajamnya.

"Okay. Iya, kakak sangat mencintainya. So?"

Levine merentangkan kedua tangannya, mengumbar senyumnya seperti biasa. Sementara di dalam hatinya ia tak pernah berhenti menangisi nasib kakaknya. Semuanya karena trauma-trauma masa lalunya. Kenangan buruk yang tak pernah berhenti merongrongnya sampai dia selalu mengalami ketakutan-ketakutan. Padahal dia termasuk orang yang tidak kekurangan kasih sayang.

Levine memejamkan matanya saat kakaknya bergerak memeluknya erat. Satu crystal bening lolos dari sudut mata Levine. Ia kini mengeratkan pelukannya pada pria rapuh itu.

"I love you more, Kak Esen," bisik Levine kemudian melepas pelukan itu. Ia tersenyum saat kakaknya mengecup ujung hidungnya seperti biasa. Meskipun sedang dalam keadaan terpuruk seperti ini, kakaknya tidak pernah melupakan kebiasaannya bertahun-tahun itu.

Kamu dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang