Flavie termenung di meja yang baru saja mengantarkannya pada status singlenya. Laki-laki itu melepasnya beberapa detik lalu. Dia membiarkannya pada keputusan yang sebenarnya tidak dia inginkan. Dia hanya ingin penjelasan tapi entah, sisi buruknya mendominasi dirinya beberapa saat tadi. Dan ini, dia menyesal. Merasakan apa yang berada di genggamannya terlepas tanpa dia menahannya.
Dia mengambil napasnya beberapa kali sebelum dia memutuskan untuk menelpon seseorang. Berharap ada orang yang mau meraih tangannya saat ini.
"Dia memutuskan kami. Dan ini..., salahku," ucapnya parau.
Dia tidak bisa menangis. Hanya perasaan sesak kehilangan yang dia rasakan saat ini. Sakit dan hampa menyatu di dalamnya.
"Aku akan segera datang. Kau tunggu sebentar, jangan kemanapun!"
Flavie meletakkan kembali ponselnya dengan gemetar. Tangannya mengusap penuh wajahnya. Terkadang otak kritisnya membuat apa yang diharapkannya menjadi kacau. Dan ini yang sedang dia alami sekarang. Memang hubungannya dengan pria itu belum terlalu dalam. Hanya seperti sepasang remaja yang baru jadian. Tapi, perasaannya sudah telah dia jatuhkan pada pria itu.
Duduk terpekur untuk jangka waktu hampir satu jam membuatnya semakin merasakan penyesalan itu. Sesal yang dia ciptakan sendiri hingga kepalanya mulai berdenyut.
"Kau baik? Apa kau baik-baik saja?"
Seseorang tergesa menghampirinya tanpa mempedulikan rambut coklat gelapnya berantakan. Wajahnya begitu khawatir. Dia bahkan melupakan napasnya yang tersengal-sengal. Mendengar suara itu, Flavie mengangkat wajahnya. Dia hanya diam dengan mata sembab dan bibir bergetar. Dia ingin berteriak menyesal pada gadis di hadapannya tapi tidak bisa. Dia tidak memiliki kekuatan untuk berucap. Semua lenyap bersama penyesalannya.
"Hey," Sheva duduk di samping Flavie, segera merengkuh bahu gadis itu dalam dekapannya. Dia tahu apa yang dibutuhkan gadis itu saat ini. Pelukan. Dia juga membiarkan Flavie menumpahkan semua kesesakannya di dadanya. Dia merasakan tubuh gadis itu bergetar.
"Kau menangis tanpa suara. Tapi, lanjutkan," ucap Sheva menenangkan. Tangannya memberikan sentuhan lembut berusaha menenangkan gadis itu.
"Apa aku salah?" lirih gadis itu seraya bangun dari pelukan Sheva.
"Apa yang kau bicarakan? Kau bahkan kenal dirimu sendiri dengan baik, hm," ucap Sheva menatap lembut gadis itu, "Kau tidak pernah salah dalam berpikir. Aku hafal sisi itu milikmu."
Ya, Flavie tahu. Dia cukup cerdas dengan otak kritisnya. Tapi kali ini dia salah berhadapan. Perbedaan pola pikir dari orang secerdas pria itu, membuat otak kritisnya berada di luar kendalinya.
"Aku hanya tidak ingin kelak, ah, apa aku pernah cerita kepadamu tentang..., sesuatu?" Flavie menggantungkan ceritanya. Dia lupa apa Sheva sudah ia beri tahu mengenai kakak Levine, pria yang membuat Sheva menjatuhkan hatinya itu, apa belum. Flavie melupakan penyelasannya. Dia memberikan mimik muka serius secara tiba-tiba. Dia bahkan menegakkan tubuhnya, membuat Sheva mengernyit.
"Tentang apa?" Sheva menyipitkan matanya, "Aku tidak tahu ada apa denganmu akhir-akhir ini. Pertama kau gelisah sendiri. Kedua, kau tiba-tiba ingin menarik novelmu yang siap terbit. Dan sekarang, kau menelponku dengan suara begitu mengkhawatirkan. Aku berasumsi bahwa kau... menyembunyikan sesuatu dariku. Katakan, ayolah, biar semuanya menjadi jelas."
Flavie terdiam, menatap ke dalam mata Sheva. Gadis itu, mencemaskan Flavie. Dan Flavie pun mengkhawatirkan Sheva, untuk hal yang dia sembunyikan.
Flavie menggelengkan kepalanya, memaksa sebuah senyuman tipis.
"Tidak ada apa-apa. Akan kuselesaikan sendiri. Dan..., aku akan datang esok lusa, membatalkan penerbitan novelku. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah baik, jangan khawatir." Flavie berucap dengan cepat kemudian bergegas pergi.
"Flavie! Vie! Dengar kau tidak bisa melakukan ini. Ayolah, apapun masalahmu, jangan libatkan dalam novelmu. Ini sangat menjanjikan. Aku meyakini itu," seru Sheva berupaya mengejar gadis itu.
"Tidak. Terima kasih. Aku akan pada pendirianku. Kau tahu aku, Sheva."
"Hey!"
Flavie melambaikan tangannya, membuat langkah selebar mungkin dari kaki mungilnya. Dia tidak ingin Sheva tahu. Mungkin untuk saat ini. Karena bisa saja itu malah semakin mempersulit keadaan. Sheva dan pria sakit jiwa itu baru saling mengenal. Dan luapan jatuh cinta itu tidak mungkin dipadamkan begitu saja.
"Baik. Akan kutunggu sampai esok lusa pukul 10 pagi. Jika kau datang, kau boleh menarik novelmu itu! Jika tidak, aku yang akan mewakilimu dalam launching novelmu. Kau paham bagaimana aku!"
FLavie terdiam dari langkahnya selama beberapa saat begitu mendengar teriakan lantang dari Sheva. Hanya sebentar, karena kemudian Flavie memutuskan untuk kembali melangkah dengan kesesakan yang kembali menghampiri.
Kenapa ini sulit untuk diterima? Seolah apa yang kuputuskan adalah sebuah kesalahan. Sedang aku hanya tidak ingin mereka tahu bahwa apa yang kutulis ternyata sebuah aib dari keluarga orang yang kucintai. Dan apa jadinya nanti jika keluarga itu tahu? Mereka, keluarga baik, cukup sempurna. Bahkan disegani. Dan aku hanya orang asing yang tiba-tiba hadir tapi secara tiba-tiba pula aku membuat nama keluarga itu jatuh dengan menjadikan setitik aib sebagai konsumsi publik.
Flavie menarik napasnya dalam-dalam. Di pikirannya, akan sangat berbeda jika dia sama sekali tidak mengenal orang atau kerabat dari seseorang yang dia ambil karakternya untuk sebuah novelnya. Akan berbeda. Karena tidak akan ada beban moral dan rasa bersalah yang akan ia tanggung.
"Kau seharusnya mengatakan ini kepadaku dari awal. Dan aku akan mengubah semua novelku. Kau membuatku menyesal karena membuatmu marah, melepaskan kita. Dan kau juga membuatku merasa bersalah untuk novel ini. Kenapa kau sulit mengerti apa ketakutanku. Apa kekhawatiranku?" lirihnya seraya mendekap tubuhnya sendiri. Berdiri di tepi kolam luas. Dia mengambil napasnya dalam-dalam berusaha menghalau kesesakan dan kegelisahannya. Matanya terpejam. Dan wajahnya setengah tengadah. Dia membiarkan desir angin melewati tubuhnya. Menamparnya keras.
"Dan apa yang harus kulakukan untuk perasaan sialan ini? Kau membuat segalanya hampir lenyap di mataku. Kau membuatku merasa bersalah. Aku sangat ingin menangis kalau kau mau tahu. Tapi aku merasa ini tidak pantas kulakukan. Kesalahanku dan aku menangisinya sendiri. Kalau saja bisa aku mengatur ulang, aku ingin menghapus bagian tulisan novelku. Aku ingin kita ada bukan karena sebuah novel. Dan berakhir bahagia bukan yang seperti ini. Kenapa? Kau bisa menjelaskan padaku? Vine? Aku tahu kau memikirkannya. Dan tolong pikirkan. Setidaknya bagaimana cara untuk mengakhiri ini. Jika kau pernah mengajari aku bagaimana menciptakan karakter, mengawali kisah, tolong, ajari aku mengakhiri kisah ini dengan baik," desaunya dalam hati.
Untuk kesekian kalinya Flavie menarik panjang napasnya. Kali ini tangannya mencengkeram bahunya sendiri, meredakan gemetar pada dirinya. Pada sebuah kekonyolan yang hadir, dia ingin lenyap entah bagaimana caranya. Melepaskan semua rasa bersalah dan kesesakan itu dari dirinya.
***
Tbc
24 April 2017
S Andi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Novel
ChickLitTentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @phantomID *yang nunggu-nunggu abang Levine, adik dari Abang Esen, ini diaa.. Juni 2017