Bab 18

9.1K 981 71
                                    

Levine bergegas keluar dari ruangan meeting begitu melihat jam makan siang akan tepat pada lima belas menit kemudian. Dia mengingat janjinya. Dan lagi ibunya sudah mengirimi pesan sejak tadi tanpa henti. Dia tahu pasti kakaknya sudah mulai tidak terkontrol. Pikiran-pikiran buruknya mulai mempermainkan pria berusia 28 tahun itu. Dia selalu berpikir sesuatu hal buruk menimpa salah satu anggota keluarganya.

Levine mengembuskan napasnya sedikit lega ketika dia menempatkan pantatnya di jok mobil yang kemudian membawanya pergi. Apalagi ketika jalanan tidak semacet biasanya. Sepertinya keberuntungan berpihak padanya kali ini.

Tepat jam makan siang, Levine tiba di sebuah restoran yang dia janjikan. Matanya langsung menangkap ke ujung dalam sana. Seorang ibu yang sedang menggenggam erat tangan anak lelakinya. Mirip seperti tante dengan berondongnya. Tapi untuk kali ini Levine tidak berminat pada sekelebat pikiran konyol itu. Dia segera menghampiri mereka.

"Maaf. Levine nyaris terlambat. Aku baik-baik saja, Kak," gumam Levine sedikit membungkuk, merengkuh dua orang itu.

"Dimaafkan, Dude," bisik wanita itu seraya memberinya kecupan di pelipis Levine.

"Okay?"

Levine menegang dalam rengkuhannya ketika mendengar suara serak yang sangat dia rindukan itu. Dalam keadaan buruknya, dia masih saja sempat memikirkan keadaan adiknya.

"Always. Good," cicit Levine setelah dia menemukan kembali suaranya. Matanya bergerak melirik pria dalam rengkuhannya. Dan dia mendapati senyum samar tercipta di sana.

"Senang mendengarnya. Come," ucapnya lagi.

Levine memejamkan matanya sejenak. Sama sekali ia tidak mempercayainya begitu mendapat respon positif dari kakaknya. Dia mendengar dengan sangat jelas suara berbisik dari mulut yang lama tidak berucap dengan terkontrol itu. Tapi tawa lirih bahagia dari ibunya memaksanya untuk mempercayainya.

Dan seketika itu dia ingin menangis. Andai saja ini bukan di tempat umum, dia sudah menghujani pria yang selalu menjadi pujaannya itu dengan ciuman seperti dulu saat pria itu memberinya hadiah-hadiah kecil.

"Can I believe this?" bisik Levine dengan suara serak tertahan.

"Seperti yang Daddy katakan tadi malam, Sayang," ucap ibunya kemudian menyuruhnya untuk segera mengambil duduk.

Matanya tak lepas menatapi pria itu. Ia bahkan mengabaikan makanan di hadapannya.

"Okay. Aku akan banyak meluangkan waktu untuk Kakak. Kita akan sering menghabiskan waktu di luar."

"Ayolah," ucap ibunya seraya menarik sebuah kursi untuk Levine.

Levine segera berputar pada kursi yang ibunya sediakan untuknya. Matanya tak lepas menatapi kakaknya seakan dia ingin memberitahu bahwa dia sangat merindukan sosok idolanya. Matanya seperti tak berhenti berdansa. Luapan bahagia terpancar di sana. Dia tak pernah menyangka kalau kehangatan yang dulu pernah dia miliki kini kembali menghampirinya.

"Makanan apa yang kau inginkan, Dude?" tanya ibunya menginterupsi tarian kebahagiaannya.

"Apa saja. Aku akan makan apa yang Mom atau kakak pilihkan."

"Okay. Mom pilihkan untuk kalian."

Levine masih merasa dirinya masih bermimpi. Berbicara, mengobrol bahkan bercanda dia kembali lakukan saat ini disela menunggu pesanan datang. Sampai kemudian dia dikejutkan oleh sebuah pekikan dan langkah kaki mendekat.

"Levine? Ini... Benar kau?"

Levine menoleh seketika bersamaan dengan melemahnya suara itu. Tidak hanya dia yang terkejut. Tapi juga sekilas dia mendapati tatapan penuh tanya dari ibu dan kakaknya. Dia mendapati sepasang mata biru jernih itu membulat dan bibir peach itu bergetar seakan tidak mempercayai apa yang matanya lihat. Sejenak mata biru itu bergerak sebelum mengerjab lagi.

Kamu dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang