Begitu ia menginjakkan kakinya di apartemennya, Flavie langsung membuka laptopnya. Tangannya menge-klik aplikasi word dan membuka lembar kerja baru. Ia membuat sebuah catatan kecil oh, bukan --cerita singkat tentang pria yang ia temui tadi siang.
"Ehem, pertama aku memberinya nama apa ya?" gumam Flavie sambil memikirkan sebuah nama.
Jemarinya mulai mengetikkan nama pertama yang terlintas. Mister Grey dan... Miss.., Flavie menopang dagunya. Apa ya? Ia menggerak-gerakkan bola matanya. Ujung jemarinya mengetuk-ngetuk meja belajarnya. Sesosok wanita asia terbayang di wajahnya. Matanya berbinar seketika begitu mendapatkan sosok itu. Jemarinya mengetik sebuah kata untuk mencari nama khas Asia.
"Ehem.. Mister Grey dan yaa... aku rasa Jingga nama yang bagus. Jingga... warna khas sunset. Na ah, cocok. Hmmm..., lalu judulnya? Sunset untuk Mister Grey. Ahaa? Perfect. Dimulai!" gumamnya girang.
Ia menegakkan punggungnya. Tangannya kembali menari di atas keyboard, merangkai kata dengan cepat. Kata-katanya mengalir lancar bahkan sangat.
Silvara Jingga!!!
Aku mendengar seseorang menyebut nama lengkapku. Matanya mendelik kesal lengkap dengan raut wajah garangnya. Wanita ini mengamuk karena kali ini aku memperburuk naskah novel yang seharusnya kuedit untuk menjadi baik. Bukan malah seperti sekarang. Masih dengan raut kesalnya dia mulai mengocehiku. Oh, astaga! Dia membawa-bawa umur dan status single-ku. Kalau bukan sahabatku, sudah pasti mulut dan wajahnya berantakan habis kucakar-cakar.
"Kau sudah menghancurkan naskahku!" jeritnya untuk yang kesekian kalinya.
Hey! Aku mendengarnya. Aku belum tuli, Meyrnes! Namanya Meyrnes. Gadis berambut blonde sedikit membuatku repot itu meraung-raung tidak terima. Tapi kali ini ia tidak menghinaku lagi. Apa yang mau dihina? Semua yang ia katakan juga ada padanya. Gadis yang berusia 23 tahun, dua tahun di bawahku ini juga masih single.
"Maafkan aku, Mey."
"Laki-laki itu lagi?" tebaknya dengan mata menyipit, siap menginterogasiku dengan sinis.
Aku mengangkat bahu.
"Sudah tau namanya?"
Aku menggeleng. Meringis tipis. Dia selalu tepat menebak. Aku sedikit terganggu dengan laki-laki yang kutemui di bawah pohon mapple. Tampan, dingin dan sumpah, itu tidak keren. Dia seperti orang yang hmm.. depresi. Ya, depresi.
Flavie menghela nafasnya. Ia membayangkan bagaimana wajah mengenaskan pria yang ia jumpai tadi siang. Jemarinya tertahan di udara. Ia batal mengetik ketika dering ponsel menyalak nyaring. Tangannya meraih ponsel yang berada di dekat laptopnya. Keningnya terlipat. Levine? Oh, my!! Dewi batinnya bangun dengan sigap kemudian melompat-lompat bahagia. Dia menelponku!! teriaknya girang. Jari telunjuknya segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Hey, Vine.." sapanya gugup.
"Nona Flavie, apa kabarmu hari ini?" sapanya dengan nada menggoda seperti biasa.
Seharusnya Flavie marah karena terang-terangan pria ini mencoba menggodanya. Tapi reaksi tubuhnya sungguh memalukan. Bagaimana bisa tubuhnya meleleh hanya dengan mendengar suara sexy pria ini? Oh, astaga!
"Baik. Sangat baik. Bagaimana denganmu?"
"Hm. Cukup baik. Aku baru saja selesai meeting sejak pukul enam pagi tadi. Cukup melelahkan tapi.. Hm, apa kau mau menemani aku lunchbreak?"
Pukul enam pagi? Itu.. astaga, itu pagi buta namanya. Hanya orang sinting yang melakukan meeting saat pagi buta. Bahkan sampai sekarang? Flavie bergidik ngeri. Demi apa? Ia melirik jam beker-nya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Apa dia tidak salah menganggap jam segitu itu lunchbreak? Kening Flavie terlipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Novel
ChickLitTentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @phantomID *yang nunggu-nunggu abang Levine, adik dari Abang Esen, ini diaa.. Juni 2017