"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Levine akhirnya setelah lebih dari setengah jam hanya keheningan yang mereka ciptakan.
Matanya menatap lurus gadis di hadapannya, dengan tangan terlipat di dada. Dia bersikap mengintimidasi saat ini. Tapi dia tidak bermaksud demikian. Dia hanya tengah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan buruk yang harus ditanggungnya nanti karena keputusan gadisnya itu. Yang ditanya hanya menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Jari-jari lentiknya saling meremas seperti sedang menyembunyikan kegelisahannya.
"Kenapa?" Suara lembut itu tidak sejernih biasanya. Levine menangkap getaran di dalamnya. Gadis itu kini mengangkat wajahnya, menatap Levine meminta penjelasan.
"Kenapa apanya?"
"Kau? Dan kakakmu? Aku tidak tahu permainan apa ini. Tapi yang pasti kau sudah melibatkan aku dalam kesalahan ini. Kau menjadikan aku pacarmu. Dan kau juga menjadikan aku tersangka atas pencemaran nama baik."
Kening Levine mengkerut. Dia tidak mampu, bukan, belum mampu memahami kemana arah pembicaraan gadisnya ini. Dia merasa asing dengan dirinya sendiri. Dia yang dikenal cerdas entah kenapa otaknya kini lenyap ketika seharusnya bekerja mencerna setiap kata dari gadisnya.
"Pencemaran nama baik?"
"Ya! Kau hampir berhasil, Tuan Levine. Dan dengan bodohnya aku mempercayaimu. Ah, ini salahku. Aku terlalu banyak membuat novel sampai-sampai aku tidak bisa membedakan mana itu nyata dan mana yang fiksi. Kau, seharusnya aku tidak setolol ini menjadikan kamu bak pangeran dari cerita dongeng ke dalam dunia nyataku!"
"Hey, beritahu aku kemana arah pembicaraan ini?" Levine bertanya setengah kesal. Entah sejak kapan gadisnya menjadi secerewet ini. Di benaknya sungguh dia ingin menghadirkan ibunya untuk mendiamkan gadis ini. Apa memang sebenarnya wanita itu secerewet ini?
"Kau?" Gadis itu memicingkan matanya sebelum mengatupkan mulutnya, membentuk garis lurut. Alis coklatnya bertaut bahkan mata birunya seperti menggelap, "Jangan berpura-pura bodoh! Aku tahu IQ-mu jauh lebih tinggi dari pada aku! Dengar dan cerna dengan otak cerdasmu itu. Aku berpikir, aku menyesal menjadi kekasih pura-puramu. Aku tidak tahu apa motifmu mendekatiku. Dan, aku akan menyelamatkan diriku sendiri. Aku akan membatalkan novel itu dan membayar denda yang harus kubayarkan."
Levine tersentak dalam duduknya. Matanya melebar seketika. Dia tahu kemana arah pembicaraan gadis ini. Entah, dia tidak mengerti, apa memang semua gadis memiliki sifat meledak-ledak tanpa bisa ditebak seperti ini? Dia bahkan tidak pernah bermimpi ingin mengenal seorang gadis tipe ini. Mungkin jika dia bisa melihat, sekarang kepala gadis itu sudah berasap.
"Kenapa kau bersedia memikirkan hal negative yang sebenarnya tidak perlu kau pikirkan? Ini hanya mengenai berbagi kisah. Dan tidak ada motif apapun dalam hubungan ini, aku dan kau, hanya itu. Tidak ada hubungannya dengan kakakku. Dia, kakakku, dengan kepribadian yang sedikit berbeda. Dia tidak pernah menjadi aib bagi kami. Kau tidak perlu merasa bahwa kau terlibat dalam kesalahan pencemaran nama baik. Kau mengerti? Apa kau bisa memahami?"
"Karena tidak seorangpun akan menerima ketika hal buruk itu dikonsumsi publik. Bahkan artispun sekuat tenaga menghindar dari paparazi!"
"Sekali lagi ini bukan hal buruk, Flavie. Aku hanya ingin berbagi kisah lewat novelmu. Kau bukan tersangka di sini. Tidak ada yang keberatan dari kami. Aku hanya ingin mereka membaca, mengambil hal positif yang kau berikan lewat novelmu. Bahwa kasih sayang itu pengendali segalanya."
"Ya, mungkin bagimu ini bukan hal buruk. Tapi apa kau pernah berpikir, sedikit saja terlintas di otakmu apa yang kakakmu rasakan ketika dia tahu, bahwa...,"
"Jika kau berpikir ini salah, apa yang kulakukan adalah salah, putuskan apa yang kau inginkan sekarang. Aku tidak akan menghalangi apa yang akan menjadi keputusanmu. Tapi, jika kau mau tahu, Kakakku tidak sepicik itu." Dia memotong kalimat gadis itu ketika satu perkataan pedas mencubit dirinya. Perasaan kakaknya?
Ibunya benar. Tidak semua orang bisa memahami apa yang kita lakukan mengenai kekurangan kita. Dia hanya tidak habis pikir, apa susahnya membuka pikiran. Dia pernah menyanggah bahwa gadisnya seorang penulis yang otomatis akan berpikiran terbuka. Tapi saat ini, kenyataan telah menampik semua keyakinan terhadap gadisnya. Terlebih sekarang dia mengingat tatapan tak terbaca dari gadisnya saat memergokinya makan siang tempo hari.
"Jadi? Kau tidak mau memberikan penjelasanmu terhadapku?"
Levine terdiam. Tangannya meremas rambutnya. Ah, dia semakin tidak mengerti dengan apa yang gadis berambut pirang itu inginkan.
"Penjelasan yang mana? Sedang aku tidak memiliki motif apapun. Aku hanya ingin membantumu membuat karakter novel yang sedang kau buat itu. Yang tanpa sengaja sangat mirip dengan kakakku. Argh! Apa wanita itu serumit ini?"
"Tapi kau tidak jujur bicara kepadaku. Kau membuat perumpamaan pria itu sepupu dari temanmu. Dan pada kenyataannya dia adalah kakakmu. Seandainya kau bicara dari awal, mungkin aku akan menghentikan karakter konyol yang kuciptakan tak peduli jika menurut editorku adalah sebuah hal yang sangat menarik!"
"Lalu apa bedanya? Toh kau tidak memakai nama Kakakku. Kau menciptakan nama lain untuk karakter itu. Apa orang-orang akan segera tahu kalau kau mengangkat cerita dari sebuah kisah nyata? Apa mereka akan langsung memburu kakakku atau keluargaku untuk meminta klarifikasi? Aku hanya ingin berbagi. Ingin mereka tidak menyia-nyiakan orang yang membutuhkan perhatian lebih. Apa sampai di sini kau bisa memahami?"
Napasnya tersengal-sengal. Ada emosi yang mulai tersulut. Betapa dia merasa kesulitan membuat gadis itu memahami jalan pikirannya. Dia bahkan tidak menyadari beberapa pengunjung kafe itu mulai terusik oleh perdebatan keduanya. Sedang gadis yang ada di hadapannya hanya terdiam.
"Aku akan tetap membatalkannya," lirih gadis itu, "Aku tidak pernah membayangkan akan berada di situasi sulit seperti ini ketika aku merasa aku sudah menemukan seseorang yang tepat untuk mengisi hari-hariku. Entah. Aku tidak tahu. Mungkin kau berpikir kita akan berakhir saat ini. Tapi apapun itu, aku setuju. Kita terlalu berbeda."
"Kemana lagi arah pembicaraanmu?" Levine mengernyit. Sejenak dia menghela napasnya. Dia melihat gadis itu mengedikkan bahunya. Dia mengerti sekarang.
"Apa kau merasa malu karena kekasihmu memiliki seorang kakak dengan segala keterbatasannya?"
"Tidak. Aku tidak malu. Hanya saja, ini sulit untuk kupahami...,"
"Baik. Aku mengerti. Kau bisa melupakan aku. Kau bisa pergi. Tapi..., aku tidak akan kemana-mana. Ketika kau mendapatkan apa yang menjadi jawabanmu nanti, datanglah kembali."
Aku bukan tidak ingin memperjuangkan apa itu cinta. Aku hanya membiarkan kau pergi mendapatkan keyakinanmu, berharap kau berpikir dan memahami. Saat nanti kau mendapatkannya, aku masih berdiri di tempatku. Karena kupikir, wanita keras kepala sepertimu hanya membutuhkan waktu untuk memahami keadaan. Kau, cerdas, Flavie. Aku melihat itu.
"Kupikir pembicaraan ini selesai. Dan... terimakasih, Nona Flavie. Untuk segalanya. Termasuk perasaan nakal yang kau hadirkan untukku. Kau, aku tidak memiliki banyak kata. Sekali lagi, terima kasih."
Levine mengembuskan napasnya kemudian tersenyum tipis. Tangannya meraih tangan Flavie, menggenggamnya sesaat sebelum dia beranjak pergi.
***
TBC
SABTU 4 Maret 2017
S Andi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu dan Novel
ChickLitTentang Levine Jason Russel (Levine)--CEO muda-- yang akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Flavie Morison (Vie)--Penulis novel romance-- cover by: @phantomID *yang nunggu-nunggu abang Levine, adik dari Abang Esen, ini diaa.. Juni 2017