Bab 3

14.6K 1.2K 31
                                    

Levine tersenyum samar, mengintip dari celah kecil pintu kamar kakaknya yang sedikit terbuka. Ia melihat siluet tubuh kakaknya terlelap nyaman di pelukan Mommy. Samar-samar ia mendengar bisikan sendu penuh kerinduan dari wanita itu, bersenandung lirih sambil membelai sayang wajah kakaknya.

"Tidurlah, Sayang dan berjanjilah esok kau akan kembali. Mom sangat merindukan kamu, manjamu dan semuanya tentang kamu. Mom rindu ingin menemanimu kemanapun kamu pergi. Mom rindu ketika kamu marah karena Mom tidak bisa menemanimu. Berjanjilah, sayang. Kau akan kembali esok hari. Mom mencintaimu, more than you know. Berhenti membuat Mom sedih. Berhenti membuat Mom menangis. Mom ingin anak Mom yang dulu."

Levine melihat wanita itu menahan isak tangisnya. Tangannya tak berhenti memberikan usapan-usapan lembutnya sambil sesekali mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Kemudian wanita itu mengecupi wajah lelap Esen. Ia melihat pria itu sama sekali tidak bergerak, tidak terganggu malah terlihat semakin nyaman.

Levine kembali menutup pintunya. Ia menghela nafasnya lega. Setidaknya ia bisa sedikit lega meninggalkannya besok selama beberapa hari. Bisnisnya di wilayah eropa menuntutnya kembali terbang ke sana. Seharusnya di usianya yang kini 24 tahun, masih menikmati serunya menjadi karyawan lajang, berkumpul setiap malam. Bukan sibuk memimpin kerajaan bisnis ini.

Levine menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang harus disesali bukan? Ia cukup bersyukur memiliki keluarga yang sangat hangat, membuatnya selalu merindukan rumahnya. Levine beranjak menuju ke ruang TV. Ia meraih remote, mencari saluran Disney favoritnya. Tak lama seorang wanita duduk menjajarinya. Tangannya mengusap lembut kepala Levine kemudian mengarahkan kepala Levine untuk berbaring di pangkuannya. Selalu seperti ini. Wanita ini tidak memiliki rasa lelah untuk membuat anak-anaknya nyaman bersamanya.

"Mom?"

"Bagaimana harimu? Ada masalah?"

Levine menggeleng, "semuanya baik-baik saja, Mom. Karena Mommy selalu ada untuk kami."

Wanita itu tersenyum. Tangannya masih saja mengusap lembut kepala Levine. Bahkan terkadang jemarinya bergerak lembut menyisiri rambut coklat gelapnya.

"Jangan terlalu sibuk. Bisa-bisa kau melupakan mommy. Lagipula kasihan kakakmu, Vine. Mommy kan juga harus memonitor cafe kakakmu sama florist juga," ucap Mommy.

Keadaan Esen tidak memungkinkan untuk mengurus bisnisnya. Mau tidak mau, Anna-sang Mommy harus turun tangan untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Psikiater pribadi-nya belum mengatakan apa-apa mengenai perkembangan jiwa Esen. Malah pria berkebangsaan Jerman itu hanya menghela nafasnya dan menghibur Anna untuk selalu bersabar.

Esen memang tidak pernah mengamuk seperti yang lainnya. Ia hanya diam dengan pandangan kosong. Wajahnya mengisyaratkan rasa lelah. Tapi meski begitu, wajah tampannya yang selalu menjadi idola Levine, tak pernah luntur.

"Kakakmu pasti akan kembali, Sunny."

"Sampai kapan, Mom?"

"Kamu merindukannya ya? Kami semua juga merindukannya. Besok Daddy pulang untuk jangka waktu yang lama. Kita bisa berkumpul kembali," ujar Anna.

"Mom, Levine ada bisnis di eropa."

Wanita itu segera paham. Levine merasakan gerakan dari wanita itu. Ia melihat Mommy-nya membungkukkan badannya, mendaratkan kecupan di daun telinga Levine dengan sangat lembut.

"Perlu ditemani?"

Levine menggeleng. "Vine bisa sendiri. Paling tidak Vine seminggu di sana. Tapi akan Vine usahakan secepatnya untuk kembali. Mommy jaga Kakak saja. Tidak apa-apa kan Mom, Vine tinggal?"

Terdengar kekehan dari wanita itu. Levine kini merubah posisi miringnya menjadi telentang. Ia melihat jelas lekuk-lekuk ayu yang masih membingkai wajah wanita tercantiknya.

Kamu dan NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang