34. Antara Tama dan Juno

11 2 0
                                    

Sembari melempar kontak motor, siulan itu mengalun di sepanjang jalan, masih dengan euphorianya, melongok ke kanan dan kiri mengamati kondisi sekitar, namun Tama menghentikan langkah tiba-tiba, memicingkan mata ke arah kerumunan di lapangan basket. Suara sorak sorai menarik minatnya untuk mendekat, ia yang sebelumnya ingin menemui Sanapun urung. Tama memilih membelah gerombolan mahasiswa yang tengah berseru gembira. 

"Rektor cup," gumam Tama setelah membaca spanduk yang terpasang membentang di antara dua pohon besar penunggu lapangan basket. 

Mata pria itu terus menelisik seakan mencari seseorang yang mungkin ia kenal, tetapi satupun mahasiswa tak ia kenali dari lautan manusia itu. Namun, ketika ia hendak meninggalkan kerumunan, siapa sangka  jika tubuhnya terhenti kala mendengar satu suara familiar di pendengaran, berteriak cukup lantang dan penuh energi, ia mencoba mencari sumber suara, betapa terkejutnya Tama ketika mendapati Juno tengah meneriakkan satu nama dengan tangan kanan mengepal tinggi meninju udara, Tama sempat tak habis pikir, kenapa Juno seakan selalu ada di sepenjuru kampus dalam satu waktu. Ia kembali memutar badan berjalan mendekati pria gempal di tribun bawah. 

"Heh," ujar Tama sembari memukul kepala Juno.

"Woi," Juno sontak menoleh dengan wajah terkejut, "apaan sih lo?" protesnya dengan wajah nanap.

"Lo yang apaan, lo kok bisa ada di mana-mana sih, heran gue. Baru juga tadi kita ketemu di gedung perkuliahan, sekarang udah di sini bae," cerocos Tama sembari menarik botol minum dari sisi kantong tas Juno. 

"Gue punya kaki, serah guelah mau kemana aja, gue nggak harus bikin proposal buat ijin sama lo."

Tak acuh, Tama hanya menatap malas ke arah Juno. "Lo ngapain dah di sini ?" ujar tama lagi, sembari menutup botol, setelah menenggak setengah airnya.

"Anaknya Pak Bambang mau tanding, gue sebagai orang yang peduli sama crush ya harus selalu ada di setiap situasi, apalagi kek gini nih." jawab Juno dengan berkacak pinggang begitu percaya diri. "Itu minum gue tuh?" Juno melirik sinis ke arah botol minumnya yang masih Tama genggam.

"Minta dikit gue, yaelah pelit amat, ATM lo disita lagi?"

"Bukan itu masalahnya, tuh air mau gue kasih ke Yeri, gimana sih lo." Protes Juno.

Tama menyodorkan kembali botol minum itu kepda pria di hadapannya, "oh, yaudah nih masih ada."

Juno menyahut botol itu dan menimpukkannya ke kepala Tama yang segera meringsi kesakitan, "kampret lo ya, ya kali udah airnya tinggal setengah, bau jigong lo juga."

Tama mengusap-usap kepala, berusaha meredakan rasa nyerinya, "sakit kampret." eluh Tama sebagai bentuk antipatinya.

"Siapa suruh lo cari gara-gara sama gue, eh by the way gue tadi ketemu Sana, waktu gue tanyain hadiah dari lo dia kagak tau apa-apa, emang belom lo kasih ke dia?"

Pukulan kedua mendarat di kepala Juno, rupanya kali ini semakin keras, antara pembalasan dendam atau memang refleks Tama, "heh bego, lo ngapain nanya gitu-gitu ke dia?" toyor Tama lagi.

"Lah apa salahnya kan gue cuma nanya, pingin tau lo kasih apaan, biar gue bisa kasih penjelasan ke Sana, kalo-kalo lo kasih sesuatu yang nggak masuk akal, biar nggak malu-maluin gue sebagai temen lo." jelas Juno yang semakin memancing emosi.

"Nggak ada hubungannya, mau gue kasih cicak buntung, buaya hamil atau apapun nggak ada hubungannya sama lo, lancang banget sih jadi orang." serapah Tama, ini salah satu hal yang tidak pria itu sukai dari Juno, selalu ingin tahu dan terlalu peduli dengan urusan orang lain. "lagian gue udah tau mana yang pantes dan nggak pantes," lanjutnya masih dengan emosi, "kalau kayak gini kan gue jadi harus kasih dia beneran, elah kampret lo, mana duit menipis."

Entah siapa yang salah di sini, apa Tama yang memang tidak konsisten, atau Juno yang terlalu sibuk mencampuri urusan orang lain, yang jelas Tama sangat kesal saat ini karena kelancangan sohibnya.

"Lah, bukannya lo bilang kotak itu buat Sana? Terus lo kemanain? Lo makan sendiri gitu?"

"Gue nggak bilang apa-apa ya sama lo, lo sendiri yang berasumsi, tuh kotak udah gue kasih sama orang lain. Puas lo."

"Lah kok jadi gue yang salah?" celetuk juno masih tanpa merasa bersalah. 

"Emang!" sarkas Tama dengan raut wajah serius, justru membuat Juno bungkam, tangannya bergerak seakan mengunci mulut sebagai isyarat tidak akan ada kata yang keluar dari bibirnya.

Jika di pikir-pikir kenapa Tama harus repot-repot mengganti hadiah Sana, dirinya bahkan tak ada omongan akan memberi gadis itu imbalan, hendak melanjutkan pertikaian, suara merdua beralun dari tengah lapangan, seketika membuyarkan percekcokan di antara pria yang tengah mengalami fluktuasi emosi itu. Keduanya mengerjap tak percaya, lebih-lebih Tama, mengapa dirinya jadi sering bertemu dengan perintilan-perintilan ini, mungkin Tama yang terlalu fokus pada Airin selama ini hingga tak menyadari keberadaan mereka di sekitarnya, atau semua itu terjadi setelah ia mengenal Bella, apa ini semacam tanda dari semesta? Ia pernah mendapati sebuah kalimat pada sinopsis salah satu buku yang pernah ia baca di bagian belakang cover buku, ketika dia baik untukmu dan dirimu baik untuknya maka alam semesta akan memberimu tanda adanya ikatan di antara dua jiwa, dunianya yang mendekat dan begitu pula sebaliknya.

"Ini gue nggak salah liat?" celetuk Juno, tak menanggapi hal itu, Tama justru buru-buru menyapu pandang, menelisik tiap rongga yang ada, siapa tahu ada Agus yang tengah menyelundup di sana. Tapi nihil, berapa kali Tama mengamati radar Agus tak teridentifikasi olehnya. 

"Anjir, suara Wena enak banget, andai aja tuh cewek bukan gebetan temen gue, udah pasti gue bahagiain." 

Entah pukulan yang keberapa mendarat pada kepala Juno, siapa lagi jika bukan ulah pria bermata elang di sampingnya, "gue denger loh."

"Bercanda elah, demen banget sih lo mukul kepala orang, kalau otak gue geser emang lo mau tanggung jawab? Tuker ama otak lo juga ogah gue," sungut Juno yang kembali tersulut emosi.

"Lagian lo serakah banget, semuanya aja lo embat." Tama kembali mengamati sekitar, rasanya percuma subjek yang ia cari mungkin saat ini tengah tidur di suatu tempat. Mana mungkin Agus ada di tengah kerumunan sejuta manusia ini. Sekilas terbesit di kepala Tama untuk mengerjai Agus yang entah berada di mana saat ini, ia segera mengeluarkan ponselnya dan mulai merecord gadis yang tengah membawakan lagu written in the star milik Jhon Legend itu, lantas mengirimnya melalui chat Whatsapp, dan ternyata tak berefek pada pria yang hanya membukanya tanpa memberi reaksi apapun  itu. Tama mencebik, berbeda dengan Juno yang seakan sudah bisa membaca sikon, "heleh palingan juga lagi di empang," sahutnya yang ternyata sempat mengintip isi room chat pada layar ponsel Tama.

"Lo ngapain sih ngintip-ngintip." Kali ini sedikit berbeda Tama menyentil kening Juno hingga akhirnya pria itu sempat mendorong tubuh Tama sebelum beranjak menjauhinya. Sedang Tama, hanya diam dengan wajah cengo, tanpa rasa bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang