I don't know what to say... Is it okay?
Aku meminum kopi hitamku yang tersisa setengah hingga tandas. Sedikit melirik seorang wanita paruh baya yang terlihat sangat frustasi hingga wanita itu mungkin bisa meledak kapan saja. Aku menaruh kembali cangkir itu dengan sedikit kasar hingga membuat bunyi benturan yang tidak bisa juga dibilang pelan tersebut. Wanita itu kini menggenggam lengan kiriku dan menunduk putus asa.
"Kumohon Sei, kali ini saja..." suara yang dikeluarkan sedikit bergetar dan penuh permohonan. Aku menghela nafas pelan dan dengan halus melepaskan lenganku dari genggamannya.
"Tidak bisa, Ma. Itu bukanlah keahlian Sei," ucapku dengan nada datar dan berdiri dari posisi dudukku. Aku tidak akan bisa berlama-lama disini, yang ada aku akan menuruti keinginan mama. Tapi, ternyata aku kalah cepat. Mama telah bangun dari tempatnya dan memelukku dari belakang dengan erat.
"Mama mohon padamu Sei, ini untuk terakhir kalinya. Mama janji tidak akan memohon apapun lagi," aku tersentak saat kurasakan punggungku basah dan tubuh yang memelukku bergetar dan isakan kecil yang kutahu dari bibirnya. Aku memutar badan menghadap Mama dan memandang sendu wanita yang membesarkanku selama 24 tahun belakangan ini.
"Ma, itu terlalu berisiko! Sei terlalu sombong jika menanganinya. Itu keahlian Mama dan bukan untukku. Mama tahu sendiri kan kalau Sei baru mempelajari hal-hal ini selama setahun. Itu sama sekali tidak cukup, Ma! Tolong ngertiin Sei," ucapku dengan lembut agar Mama mau mengerti. Tapi, ia malah menggeleng kuat dan menatapku dengan mata yang penuh kepercayaan dan jejak air mata dipipi tirusnya.
"Kamu bisa Sei," ucapnya lalu tersenyum lembut khas seorang ibu yang membuatku tak sanggup lagi melawannya, "Mama tahu itu." Aku menghela nafas dan memejamkan mata sejenak, hingga aku tersenyum tipis pada Mama dan menjawab dengan sedikit ragu.
"Tapi, jika gagal jangan salahkan Sei. Ini karna Mama yang memaksa," ucapku sambil berjalan menjauh dengan kepala yang cukup pusing. Akhirnya aku menyetujui tugas ini, apa aku semudah itu hingga runtuh hanya karna bujukan Mama selama seminggu penuh ini yang tanpa henti? gumamku dalam hati.
Masih kudengar jeritan bahagia dan kelegaan Mama diruang tamu yang membuatku benar-benar tidak bisa mempertimbangkan hal ini lagi. Senang tidak senang aku harus melakukannya. Dengan gerakan malas, aku mengambil koper diatas lemari dan mempersiapkan segala yang kubutuhkan.
●●●
Aku menatap datar bangunan yang cukup besar dihadapanku. Aku menyenderkan tubuhku di jok mobil dan meraih telpon genggam untuk menghubungi Mama. Tak butuh lama panggilanku diterima dan sapaan hangat khas Mama menyambutku.
'Bagaimana? Sudah ketemu lokasinya, Sei?'
'Setelah perjalanan menyenangkan melawan macet selama 3 jam akhirnya ketemu kok,'
'Sei, ayolah... kamu pasti bisa menanganinya. Dia tak akan merepotkan seperti yang kamu kira,'
'Terima kasih atas penghiburannya, Ma. Seorang amatir akan menghadapi seseorang dikelas A,'
'Itu tidaklah buruk,'
'Iya, hanya saja sangat buruk. Sei tutup, ya?''Baiklah. Semangat ya!'
Aku menaruh telpon genggamku kedalam saku celana jinsku. Memejamkan mata dan mengacak rambutku dengan kasar. Rasanya aku ingin pulang dan melupakan tugas berlebihan yang Mama beri ini. Tugas ini ibaratkan memberi pelajaran Pythagoras pada anak kelas 2 sd. Konyol dan tak masuk akal.
●●●
Setelah menyusuri beberapa lorong akhirnya aku sampai disebuah ruangan dengan pintu coklat yang kukenal sebagai ruangan Mama. Aku mengetuk pintu itu sebentar dan ada teriakan yang menyuruhku untuk masuk kedalam ruangan tersebut. Baru saja membuka pintu itu sebuah pelukan telah menerjangku. Bahkan, aku belum mengambil satu langkah memasuki ruangan Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitter Days
General Fiction[15+] Aku langsung saja ya? Aku tidak akan membagi cerita dengan akhir yang mempermainkan kalian semua. Malahan, aku akan membocorkan akhir cerita itu kepada kalian semua; ini bukanlah cerita dengan akhir yang bahagia. Aku tidak akan memaksa kalian...