Kenangan Abu-Abu

657 44 1
                                    

I hate getting flashbacks of things I don’t want to remember.

VIOLET POV~

Aku dan Tante Sarah berlari kecil menyamakan cepat ranjang dorong yang membawa tubuh sekarat Sei. Ranjang itu memasuki UGD dan seorang suster menghentikan langkah kami untuk tetap menunggu diluar saja. Aku memeluk tubuh ringkih seorang wanita yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri. Setidaknya aku tidak boleh terlalu drop sekarang, karna yang paling bersedih saat ini adalah Tante Sarah. Setengah mati aku menguatkan diri sendiri didalam hati.

Tante Sarah masih menangis dan bibirnya merapalkan doa untuk keselamatan anak satu-satunya itu. Aku tahu bagaimana menderitanya beliau, kehilangan suami dan menjadi orangtua tunggal pastilah sangat berat. Aku tidak bisa membayangkan jika beliau kehilangan Sei. Aku semakin mengeratkan pelukanku saat memikirkan hal buruk itu.

Dari kejauhan kulihat Raka berlari dengan tergesa-gesa. Tante Sarah melepaskan pelukannya dariku dan menoleh kearah Raka. Nafas lelaki itu terputus-putus dan wajahnya dipenuhi peluh, Raka berusaha berbicara tetapi yang ia lakukan hanya membuka mulut tanpa suara.

“Raka tenanglah,” ucapku dengan tatapan khawatir. Raka mengacak rambutnya dengan kesal dan menjawab, “Karma menghilang dan Virgo juga tidak tahu ada dimana!”

Ucapannya membuat Tante Sarah menunduk dan kembali menangis dengan lutut yang melemas. Aku dan Raka spontan berusaha menopang tubuh wanita yang kini benar-benar tertekan.

●●●

VIRGO POV~

Kurasakan tubuhku bergetar menahan gejolak untuk menghabisi perempuan didepanku ini. Dengan tenang perempuan itu menyesap tehnya lalu mencari posisi nyaman di sofa mewah yang ia duduki.

“Santailah sedikit, Nathan. Hentikan wajah penuh dendammu itu,” perempuan itu terkekeh pelan dan meletakkan cangkirnya dimeja dengan gerakan anggun. “Jadi, ada apa kamu tiba-tiba datang kemari? Merindukanku, eh?”

“Candaanmu sangatlah tidak lucu! Aku bisa melaporkanmu kepolisi dengan tuduhan pembunuhan berencana,” ancamku yang dibalas senyum lebar hingga kedua mata itu menyipit.

“Siapa yang sedang bercanda? Lalu kenapa tiba-tiba menuduhku sembarangan begitu? Apa kamu memiliki bukti jika aku melakukan pembunuhan? Jika tuduhanmu salah, kamu yang akan dituntut akibat pencemaran nama baik,” aku terdiam mendengar hal itu. Benar juga, aku tidak memiliki bukti apapun.

“Bilang saja jika merindukanku, Nathan. Tidak usah memakai alasan dengan menuduhku sebagai pembunuh. Kreatif sih tapi cukup jahat,” aku menatap tajam perempuan dihadapanku yang tertawa dengan nada memuakkan.

“Fujimoto, candaanmu sangat tidak lucu!” bentakku dengan nada keras yang membuat perempuan itu menghentikan tawanya dan menatapku datar. Perempuan itu berdiri dari duduknya dan berjalan kearahku. Dengan gerakan cepat perempuan itu menarik jaket yang kukenakan dan tangan kecilnya memaksa menggeledah kantung jaketku. Aku hanya menggigit pelan bibir bawahku saat perempuan itu mengambil sebuah perekam suara lalu membanting barang itu dengan kuat hingga hancur berkeping-keping.

“Membawa perekam suara segala, segitu sayangnya kamu sama aku sampai ingin mengabadikan suaraku begitu, Nathan?” perempuan itu menolak pinggang dan memajukan wajahnya hingga wajah kami begitu dekat.

“Kenapa tidak mengaku saja, dasar Fujimoto sialan!” umpatku sembari menjauhkan wajah itu dari wajahku.

“Tidak usah formal begitu dengan memanggil nama keluargaku. Cukup panggil Yumi seperti yang biasa kamu lakukan saja,” Yumi mendorong tubuhku dan mendudukkan diri diatas pangkuanku. Kedua tangannya menangkup wajahku dan menatapku sambil menyeringai lebar. Dalam hati aku terus menyadarkan diri untuk tidak segera menghabisi perempuan iblis ini.

Glitter DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang