Buku Crimson

998 50 0
                                    

She's the girl that would love to be loved.

Aku sengaja berhenti tepat didepan pintu gedung dan seperti dugaanku, Karma turun dari mobil dan berjalan memasuki gedung seperti mayat hidup. Aku secepat mungkin menuju parkiran mobil untuk menyusul gadis itu.

Saat memasuki gedung, Violet menghampiriku dengan wajah gelisah. Perempuan itu menarikku dan menatapku dengan wajah dingin yang membuatku bingung.

"Apa yang terjadi dengan Karma?" suaranya sedikit berat dan dalam.

"Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya mengajak makan diluar. Itu saja," belaku yang dibalas tatapan tak yakin dari Violet.

"Makan dimana?"

"Aku mengajaknya makan dikedai dekat sini. Lagian, dia lagi mau teh hijau. Aku tidak bisa menolaknya karna..." aku tak melanjutkan ucapanku. Violet menghebuskan nafas berat dan berbalik badan, "Ikuti aku," ucapnya lalu berjalan menyusuri kodidor gedung ini dan aku yang mengikuti dari belakang.

●●●

Violet berhenti didepan pintu yang berada diujung koridor lantai 2. Aku tidak pernah tahu ada tempat ini dan sebenarnya juga tidak mau tahu. Violet mengeluarkan sebuah kunci dan membuka pintu didepannya. Ketika dibuka, ruangan itu berisi kamar yang telah berdebu seperti telah lama tidak ditinggali. Sebuah kasur usang, sebuah lemari pakaian yang terlihat lapuk, dan sebuah meja belajar yang bersarang laba-laba.

Violet menarik kursi belajar dan membersihkan sedikit debu disana. Beberapa kali bersin tak membuat perempuan itu menjauh dari sana. Violet membuka laci dimeja belajar itu dan mengeluarkan sebuah buku berwarna crimson.

Aku menghampiri perempuan yang kini sedang meniupi debu yang menutup seluruh permukaan buku crimson itu. Violet meraba pelan buku yang ternyata adalah sebuah buku harian. Buku itu memiliki sampul ukiran mawar yang cantik dan terlihat elegan.

"Ini adalah buku harian Karma," ucapnya masih memandang buku itu dan meraba permukaannya dengan pelan. Aku hanya diam mendengarkan dan menunggu lanjutan dari ucapan Violet.

"Sei..." Violet mendongakkan kepalanya menghadapku. Aku sedikit tersentak melihat tatapan kosong dimata perempuan yang selalu terlihat ceria itu.

"A-apa?" Violet menatapku dan tersenyum lirih, "menurutmu, kita ini sebenarnya berguna apa tidak?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Tak biasanya Violet seperti ini. Violetta Meillini adalah perempuan paling optimis yang pernah kutemui dan mencintai apa yang ia tekuni.

"Apa-apaan pertanyaanmu itu, Vio? Tentu saja seorang psikiater itu berguna. Jika tidak, siapa yang akan membantu mereka diluar sana?" ucapku yang membuat Violet membuang muka dan memperhatikan buku harian itu lagi.

"Tidak sepenuhnya benar. Aku terkadang merasa jahat menjadi seorang psikiater. Aku harus menanyakan dan menerka sesuatu yang tak ingin seseorang jawab atau ingat. Aku kadang bingung menghadapi mereka, aku merasa serba salah. Aku tahu ini termasuk resiko bermain dengan psikologi seseorang. Tapi... apa kamu pernah berpikir bagaimana rasanya semua usaha dan hal yang kamu lakukan itu sia-sia? Apa kamu pernah berpikir kalau yang kita lakukan malah memperburuk keadaan? Apa kamu pernah berpikir kita hanya menganggu mereka saja?" Violet mengusap kasar wajahnya dengan frustasi. Nafasnya terengah-engah dan matanya berkaca-kaca. Aku mengusap rambut Violet dan merangkulnya dengan gesture menenangkan. Apa ini sisi lemah Violet? Apa ini yang ia sembunyikan selama ini?

"Jika kamu mengeluh, bagaimana dengan pasienmu nanti? Bukankah kita disini untuk menyelamatkan mereka? Bukankah kita disini untuk menyadarkan jika mereka itu sesuatu yang penting didunia ini? Bukankah tugas kita menyembuhkan jiwa yang sedang sakit itu? Kamu sudah pro dibidang ini. Seorang psikiater, bahkan pernah bekerja menjadi dokter kejiwaan di rumah sakit besar. Apa benar didepanku ini Violetta yang kukenal berisik dan optimis itu? Kenapa beda sekali? apa jangan-jangan alien ya?" Violet tertawa pelan dan memegang lenganku yang melingkar dibahunya. Tanganku yang mengusap rambutnya dituntun oleh tangan Violet yang bebas untuk mengusap pipinya. Aku membiarkannya asal itu membuatnya tenang.

Glitter DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang