What if ...? #1

231 6 2
                                    

Aku masuk masih berdiri mematung. Kecupan sekilasnya membuatku menghangat.

Apakah aku sudah jatuh cinta?

***
- Merry

"Merry!" Suara itu kembali terdengar. Bahkan si sumber suara berlari ke arahku sekarang. Meninggalkan sesosok lelaki tadi sendiri di dalam ruang kesenian.
"Apa apaan sih?" Kataku
"Hehe." Ia hanya terkekeh.
"Lagi ngapain mane Ka sama si Tama?" Tanyaku.
"Hah?"
"Maneeeh Lagiii Apaa Samaa Tamaa?" Aku mengulangi lagi pertanyaanku.
"Hah? Apa?" Lagi lagi itu yang keluar dari mulutnya. Karena kesal kucabut earphone yang menyumpal telinganya sedari tadi. Dan seketika berubah ke mode speaker.

There's no place to run and no gasoline
Engine wont turn and the train wont leave

Begitulah yang keluar seketika dari smartphonenya.
"Naon?"
"Keur naon di dalem?"
"Ooh, jeung si Tama. Rek ngiluan?"
"Aish."
"Mantan kecenganmu kann."
"MantanMuuh." Sialan masih saja dia menyindirku.
"Mmmm, gue lagi nyari inspirasi sambil diskusi." Katanya.
"Ooh, udah jelas. Itukan lagu fav kamu kalau nyari inspirasi."
"Hahaha. Tau aja. Mau gabung ga? Ayoo ih."
"Umm gak ah makasih." Kataku menolak.
"Mm owkhay. Gue balik yee." Ia berbalik kembali menyambungkan earphonenya, bersenandung lagi.
Suara itu kembali mengalun, memaksa masuk ke dalam gendang telingaku. Siluet itu menatap ke arahku lalu fokus lagi dengan alat musiknya.

Aku masih diam mematung untuk beberapa saat. Bingung hendak melakukan apa.
Akhirnya aku memutuskan untuk jalan jalan di kampus Ninda. Kelasku masih kosong pastinya. Jadi kuputuskan untuk berjalan jalan ke lorong lorong kampus si bunda ini.
Btw, aku adalah mahasiswa jurusan sastra bahasa Indonesia.

Berkeliling setidaknya membuatku mendapatkan sedikitnya inspirasi untuk menulis. Kau tahu berapa naskah yang sudah aku gantungkan? Ratusan... Begitu pula denganku. Ia adalah sesosok pria yang selalu membuatku nyaman. Tapi akhirnya yaa sudahlah. Mungkin itu adalah kutukan dan alasan yang jelas akibat aku mengantungkan ratusan naskahku. Hahaha.

Ting! Pesan masuk.
Rai : nanti jam makan siang tunggu gue di kantin yaa, gw di pojokan
Merry : sip
Rai : kutunggu kau, jaangan telaaat

Anak itu, selalu aneh aneh saja kenapa yaa.
***
- Ninda
Berkali kali aku mengacak ngacak rambut pendek sebahuku. Ku lepas kacamata hitamku kasar dan menaruhnya asal di atas meja. Aku mendesah frustasi.

Aaah... aarkh.. aaaah

Lagi lagi gagal. Menyusahkan sekali. Tinggal sedikit lagi aku akan sampai di puncaknya.
Ayolaah.

Arkh, aw.

Tanganku tersengat solder.

"Sialan. Persetan dengan robot payah ini." Aku merutuk menggebrak meja.

"Buunndaa... buuunn." Suara itu sekonyong konyong menabrak gendang telingaku kasar.
"Apaa?" Kataku geram
"Hehe, jangan marah jangan marah. Tadi aku ketemu Adit... lagi ngintip ke sini."
"Terus..."
"Dia nitipin makan siang buat bundaaa." Anak sialan itu masih saja memanggilku bunda, jelas jelas aku bukan bundanya.
"Kenapa diem? Gak mau? Buat aku ya?" Kali ini dia malah merajuk.
"Ya enggaklah." Aku mengambil kresek putih darinya.
"Hahaha." Ia tertawa puas dan duduk di depanku.
"Kok bisa tau gue sini?" Tanyaku.
"Taulaah Raisa gitu looh."
"Aish. Raisa apa raiso."
"Sialan lo"

Lalu hening ia terus memperhatikan setiap detil benda yang sedang aku bedah.
"Drone. Phantom." Katanya singkat.
"Yoi."
"Kenapa?"
"Biasa kerjaan si kampret. Pake acara nabrak pohon segala."
"Owh, crash?"
"Yup"
"Apanya yang kena?"
"Dinamo."
"Diganti?"
"Ga, si oprek dulu aja."
"Yakiin?"
"Ga juga. Hahaha."
"Dasar.
"Eh, eh tunggu. Ini kan jam jam kuliah. Kok lo di sini?"
"Haahahah, kuliah? Hahaha. Hahaha. Eh oh iya sejam lagi gue ada bimbingan cok. Daah."
"Pelupa siih."
"Hehe."
Dia memang aneh. Hobinya ngelantur dari jadwal kuliah, kabur dari kelas, nyasar ke kampus orang tapi nilai tetep adem ayem. Beberapa hari terakhir ia sering mampir ke kampusku. Sempat aku melihatnya menemani Tama mengajar angklung di halaman kampus. Mungkin karena dia mengambil jurusan HI jadi dia mencoba mempelajari budaya bangsanya lagi. Dan aku sendiri dari jurusan aeronautika. Aku menggeluti bidang ini sejak lima atau empat tahun yang lalu, saat di SMA.
Kampusku di ganesha cukup menyenangkan selain terbilang luas daerahnya juga asri. Betah pokoknya lama lama di sini. Hahaha.
Aku membuka kotak makan siang dari si Kampret. Nasi, urap, ayam suir, udang bumbu, baso aci. Khas Salman banget. Di dalam kresek ada selembar kertas

Makasih y udah mau bantu, sori repotin. Jgn lupa makan dlu :)

Soal Adit. Dia adalah senior kampret yang pernah mematahkan hatiku.
Seketika ada getaran janggal di dadaku. What if i fall in love with him again?
Aku terdiam sebentar, hingga aku sadar. Ada pesan masuk di smartphone yang kutaruh di saku bajuku. Pantas saja.

Merry : Liat si Rai?
Ninda : Yop, baru aj pergi tdi
Merry : Aish. Si kampret.
Ninda : Knp gtu?
Merry : Kaga sih. Ada ada aja tu anak
Ninda : Knp mmg?
Merry : Masa gue di suruh ke kantin Salman bilang dia lagi di situ, taunya malah si Tama yang gue temuin. Ga awkward gimana coba?
Ninda : Hahaha
Ninda : Eh, btw lo di kampus gue?
Merry : Yoi
Ninda : Ngapain?
Merry : Itulaah biasa ikutan kegiatan di mesjid, pembekalan gitu.
Ninda : Ooh
Ninda : Tadi iya, si kampret ke sini. Manggil manggil gue bunda segala. Ada bimbingan ktnya sejam an lagi.
Merry : Oke sip sip
Merry : Arigatou

Karena kalut, aku habiskan makan siang dari Adit dalam sekejap. Masa bodoh dengan drone Adit dan kotak bekalnya aku tingggalkan kedua benda itu di dalam bengkel.
Aku beranjak keluar, hampir semalaman aku berkutat di dalam sana. Melihat cahaya matahari secara langsung membuat mataku perlu memincing sebentar. Menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
"Gimana makan siangnya?" Tanya sebuah sosok hitam yang berdiri di depanku. Mataku masih beradaptasi sehingga yang aku lihat hanyalah siluetnya.
"Hah?"
***
- Merry

Aku masih mengenggam smartphoneku. Tetesan tetesan keringat sialan itu membasahi lagi. Awkward. Si kampret itu menjebaku. Membuatku terperangkap dengan seorang masa lalu yang duduk manis menghabiskan minumannya.

"Kok ga diminum?" Tanyanya sambil menunjuk segelas jus jeruk dengan dagunya.
"Heh." Aku menatapnya sekilas dan kembali lagi ke smartphone mencoba mengubungi Rai. Sejak tadi pesan singkatku tidak kunjung dibalasnya. Begitu pula dengan telepon. Akhirnya untuk terakhir kalinya kuputuskan untuk kembali meneleponya.

***
- Rai
Aku tergesa gesa mencari angkot selepas turun dari Salman. Haduuh benar benar menyusahkan. Sebenarnya bimbinganku dimulai dua jam lagi, tapi satu jam lagi aku kurangi untuk aksi malas malasan di kantin atau tidur di kelas.
Setelah mendapat kendaraan aku segera meluncur ke kampusku di jatinangor. Butuh 45 menit untuk sampai di gerbangnya. Artinya waktuku untuk malas malasan hanya 55 menit lagi. Aku berlari sekuat tenaga, keringat bercucuran.
Sengaja aku masuk ke gedung fakultas manajemen bisnis, aku memang serinh sengaja masuk ke sini. Cuci mata, banyak cogan. Hahaha. Tiba tiba ada panggilan masuk, kujawab sambil berlari.

"Haiii, pasti Merry kan? Sori gue lupa ada bimbingan hehe." Jawabku sambil berlari.
"Sialan lo kampret, curut, tai."
"Sumpah maaf banget, yaa ya ya. Dadah." Aku terus mempercepat langkahku. Kalau sampai terlambat barang semenit bisa mati aku.

Akhirnya aku sampai di depan ruangan dengan keringat bercucuran. Lalu bersin beberapa kali sebelum menyadari kalau Bang Genta sudah berdiri di ambang pintu dengan muka kesalnya.
"Sakit kan jadinya. Gue bilang juga apa sih. Gak nurut lo." Ia berjalan ke arahku dan malah menjitakku.
"Sakit dodol. Iih."
"DodolMu."
"Cuih."
Drrt drrt
Smartphoneku bergetar lagi. Aku kurang suka memasang ringtone. Merry.

"Yo sapp?"
"Yo sappMu. Gue ditinggalin nih sama si Tama."
"Ya trusss? Artinyakan lo udah ga bareng diakan, yakan yakan."
"Iya siih. Tapi gue gimana sekarang?"
"Balik aja lagi gih ke UNIsBa Mu."
"Beneer? Ah ya udah"
"Siip gue mau bimbingan bentar lagi hehe."
"Sok soan lo mau ngerjain skripsi, cih."
"Bodo, yang penting gue tinggal tunggu bab 3 di acc."
"Whoah ninggalin rupanya."
"Dadah merry had a little lamb..."
"Kampret dasar."

Aku memutuskan panggilannya.

"Makan nih, vitamin c." Ia memberikanku sebuah vitamin c yang masih terbungkus.
"Hum? Makasih. Hehe."
"Jangan lama lama sakitnya. Projek kita nanti terbengkalai, skripsi lo juga nanti gimana nasibnya."
"Hehe."
"Cengengesan aje lo."

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang