What If...?#7

85 6 0
                                    

- Merry
Sidik benar benar menemaniku di angkot. Maksudku menemani secara bahasa, dia hanya duduk di sampingku tanpa berbicara sepatah katapun. Yaa, setidaknya aku tidak pulang sendiri kali ini.
Entahlah kurasa ini salah. Sama seperti saat Tama membawaku ke sana, berdua saja.

Kami akhirnya sampai di rumahku. Selepas turun dari angkot ia menolak meninggalkanku berjalan sendiri ke rumah.

Gerbang depan terbuka, sepertinya umi baru saja pulang. Aku berjalan mendahului Sidik memasuki halaman rumah. Benar saja, mobil umi terparkir di sana dengan lampu rem dan mesin masih menyala. Pintu mobilnya lalu terbuka.

" Assalamualaikum, Mi." Kataku.
" Eeh, ko tumben sebentar ketemuannya?" Bukannya menjawab salam Umi malah bertanya hal lain.
" Pada banyak kerjaan, Mi. Mi, nih Sidik yang dulu suka Merry ceritain." Aku memperkenalkan Sidik padanya.
" Oooh, ini Sidik teh? Kasep geuning. Kenapa baru dikenalin sekarang kamu mah." Celetuk umi.
" Saya Sidik tante." Ucap Sidik sambil bersalaman dengan Umi.
" Jangan tante ih kamu mah, Umi aja."
Seriusan, aku gak nyangka bakal kaya gini jadinya.
" Masuk dulu yu." Ajak Umi.
Kami semua masuk ke ruang tamu, ayah kebetulan sedang tidak ada di rumah karena sedang dinas di luar kota adikku pun belum kembali dari kampus sepertinya.

" Ri, bikinin minum dulu atuh." Pinta Umi yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan Sidik. Aku segera pergi ke dapur, menyiapkan beberapa gelas, merebus air lalu menyeduh teh. Di rumah tidak ada cemilan, jadi aku akhirnya memotong beberapa apel. Jamuan itu aku bawa ke ruang tamu. Sambil berjalan aku sambil berpikir. Hari ini hari paling janggal seumur hidupku. Aku merasa lebih gugup daripada saat aku menyerahkan draft bukuku kemarin sore, atau saat aku berdua bersama Tama di saung ketika hujan. Ada praduga muncul di benakku, walau tidak masuk akal.

Ketika aku sampai di dekat ruang tamu, tampaknya umi dan sidik dengan berdiskusi serius. Kutaruh nampan berisi gelas teh dan irisan apel di atas meja, kemudian duduk di samping umi.

" Ayoo, diminum dulu." Kata umi.
" Ngomongin apa sih mi?" Tanyaku berbisik.
" Ada deeeh." Umi ini kadang aneh, aku jadi bingung sendiri. Sidik meneguk tehnya.
" Jadiii, kapan saya bisa ketemu ayahnya Merry, tante, eh Umi?" Tanya Sidik setelah selesai dengan tehnya. Pertanyaanya yang sedikit ambigu membuatku tersedak ketika berusaha menelan potongan apel.
" Mmm... minggu depan mungkin. Ayahnya Merry masih dinas di luar kota. Kalau sudah pulang nanti umi suruh Merry kasih tau kamu." Aku hampir saja menyemburkan teh yang aku minum untuk meredakan batuk akibat keselek tadi. Apa sih yang sebenarnya mereka bicarakan?

Umi dan Sidik ngobrol ke sana kemari, apapun mereka bahas, soal aku, soal keluarganya, soal pekerjaan umi, soal ini soal itu untung bukan soal perjodohan. Ahhh, aku ini mikir apa sih.

Sekitar satu jam Sidik duduk di ruang tamu sebelum akhirnya pamit takut terlalu malam pulangnya. Aku mengantarnya sampai depan gerbang.

" Assalamualaikum." Katanya.
" Waalaikumsalam, hati hati yaa." Balasku.
" Iyaa." Serunya. Tunggu, aku kenapa lagi? Kenapa aku jadi mendadak seperti Rai yang selalu menyisipkan kata 'hati hati yaa' ? Kenapa seketika aku peduli pada makhluk itu ahhh? Menyebalkan.

Aku masuk ke dalam, kudapati umi sudah membersihkan sisa jamuan tadi.

" Mi, Umi. Tadi ngobrolin apa sih?" Aku mengulangi pertanyaanku tadi dengan nada penasaran.
" Aaah, engga. Mau tau aja kamu mah. Kalau punya temen kaya dia tuh yaa, kenalin dong sama umi." Jawab umi menggantung, aku hanya terdiam mencerna jawabannya. Umi pergi ke kamar.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Ku raih smartphoneku, aku tahu siapa yang harus kuhubungi sekarang.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cobalah menunggu beberapa saat lagi. The number you're calling is unavailable, please try again in few minutes.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang