What If ...? #5

95 8 4
                                    

- Rai
" Code blue, code blue, ICU, Code Blue..." Panggilan itu masih terus dilantunkan, aku ikut berlari bersama Dita. Hey, tunggu... Bayukan udah keluar dari ICU seminggu yang lalu. Dita pasti lupa, atau bukan Dita yang berseru tadi.
Kami sudah hampir sampai di ICU beberapa awak tim kode biru sudah berkumpul, aku tidak ikut masuk -jelaslah tidak boleh. Aku menghela nafas, kenapa ringan sekali? Aah, yaa... waktu sedang berhenti sebentar

" Hai." Sapanya.
" Zed. Sudah kuduga." Aku berbalik, memandangnya.
" Bayu Nugraha, bukan Rayhan Bayu. Sampai ketemu nanti!" Ia melambaikan tangannya, seketika ia sudah ada di dalam ruang ICU, berdiri di ujung dipan lalu menghilang bersama cahaya.

Dita keluar dari ICU dengan wajah lesu, jasnya banyak bercak darah.
" Bayu Nugraha? Waktu kematian 7.59, arrest?" Ucapku singkat.
" Loh, tau darimana lo?" Ia melongo.
" Entahlah." Aku menaikan bahu, Zed berdiri diujung lorong, tersenyum lalu hilang lagi.
" Balik ke UGD lagi?" Tanyaku.
" Yo." Ia masih lemas, jalannya gontai.
"Ayo semangat." Seruku.
Kami akhirnya berlari lagi. Di UGD masih hiruk pikuk, tapi aku dengan mudah menemukan Andre.

" Andre!" Seruku.
" Hai, Rai. Udah dapet apa aja? Gue baru dateng sepuluh menit yang lalu, pas nyampe lo ga ada."
" Hehe, abis dari toilet. Nih, gue mau jalan dulu. Dadah. Bilangin sama kang Wahyu, malem ini gue agak telat ke kantornya. Block notenya lo bawa aja." Yaa, aku bohong, aku sebenarnya gak boleh meninggalkan UGD sampai Andre datang buat jalan jalan kaya tadi. Block note bercover abu aku berikan padanya, sekarang ia sudah ternodai darah di beberapa halamannya.
" Nyentuh korban lagi lo?" Tanyanya
" Iya, hehe. Abisnya tadi kaga ada yang meriksa yaa udah sama gue aja. Gini gini juga gue manusia punya kasian tau..." Aku membela diri.
" Ya ya ya, alasan kemanusiaan lagi..." gumam Andre entah pada siapa, karena yang jelas aku sudah beranjak dari tadi.
" Raisaaa..." desisnya.

Sekarang aku sedang duduk di rooftop garden. Bukan rooftop sih, soalnya masih di lantai empat. Kalau Genta ada pasti dia lagi ngeroko sambil merem di sebelahku. Angin malam menusuk kulit. Aku hanya memakai sweater berbahan wol tipis. Langit terlihat buram, terlalu banyak awan dan polusi cahaya. Kepalaku agak berat, mungkin banyak pikiran. Sebuah bintang akhirnya aku temukan. Entahlah aku senang sekali bisa menemukan sebuah bintang di langit yang buram. Sayap sayap kelabu itu lagi. Ia duduk di sampingku.

" Sendiri aja?" Tanyanya.
" Ga, aku berdua. Denganmu." Jawabku sinis.
" Mana Dita? Udah liat Bayu? Bunda sama Merry gimana? Wira Genta apa kabar?" Ia membom bardirku dengan pertanyaan.
" Bisakah, dirimu hanya bertanya 'Apa kabar, Rai? Sudah seminggu tidak bertemu'. Aku tidak suka banyak banyak di tanya, okeh?"
" Ya, Apa kabar, Rai? Sudah seminggu tidak bertemu." Ia melakukan persis apa yang aku minta, dasar bodoh. Aampuni aku Tuhan, dia tidak bodoh, maksudku dia hanya tidak manusiawi -aah ini sih aku yang bodoh.
" Akuu baik, Zed. Kurasa."
" Aaah, ayolah tidak biasanya kau begini, Rai."
" Jawab aku, kenapa Bayu belum kembali? Padahal operasinya lancar..." kataku lirih
" Rai... ini keputusannya. Ia yang menentukan akan kembali lagi atau meneruskan perjalananya."
" Ya ya yaaa ya. Aku tahu, tapi sampai kapan? Rasanya aku lemah tidak bisa melakukan apa apa..."
" Haha, ayolah. Ini pertarungan kalian berdua sepertinya."
" Hah? Kenapa berdua?"
" Hari itu dia gak sadar kalau kamu ada di kafe yang sama, akhirnya dia naik motor ke kostan kamu, tapi... yaa itulah. Kau tau sendirikan?"
" Ahh, ya. Melibatkan aku." Balasku frustasi.
" Bantulah dia menemukan jalan keluarnya. Kau harusnya banyak bersyukur tahun ini."
" Yaa, kau benar. Walau Merry dan Ninda akan pindah, penempatan Dita diganti jadi tetap di Bandung. Walau Bayu koma, setidaknya masih ada harapankan?"
" Naah, inilah Rai yang aku kenal." Katanya bersemangat lalu memelukku.
" Kau dan dirinya sedany berjuang, Rai. Hanya saja labirin kalian berbeda, nikmati saja."
Terlahir menjadi indigo bukan hal yang aku syukuri kadang. Beberapa saat aku duduk sendiri di sini. Sampai akhirnya teman lamaku tiba-tiba datang.

Dari balik jaketnya Rangga mengambil vapenya, lalu menyesapnya di sebelahku.
" Lo ke sini cuma buat ngevape?" Tanyaku sinis, yaa aku memang tipikal orang yang sinis.
" Ngga, tadi habis ngeliat si Bayu. Udah sebulan ya?"
" Hah? Iya, makasih waktu itu lo udah dateng."
" Kebetulan gue juga lagi di sekitar situ, jadi pas lo nelfon gue langsung ke sini." Angin malam lagi lagi bertiup, ia juga ikut ikutan menerbangkan asap dari makhluk di sebelahku.
" Lo mau ke mana habis ini?"
" Huh? Ke warung. Haha."
" Oooh, tirtayasa? Masih lo ke sana? Hahaha..."
" Masihlaaah. Setia."
" Boleh nitip ga? Lewat ke RJ kan? Beliin sushi sama calais, hehe."
" Emang gue gojek apa?"
" Plisss, ya ya ya. Biar malem ini Bayu gue yang nungguin, okeeh? Ya, plis." Aku memaksa, yaa memang memaksa.
" Iya iyaaa, nanti gue beliin."
" Yeeey."
Akhirnya kami malah ngobrol ga jelas, sampai gak lama Rangga pamit.

" Gue ke sini jam sepuluhan, oke?"
" Okeee." Aku mengacungkan jempol padanya. Ia menghilang dibalik hoodie marunnya.

Sendiri, yaa seperti biasa. Semoga seperti ini terus, tanpa Zed. Ahh, ia menyebalkan.
Dingin terus menusuk kulit, aku memutuskan untuk masuk. Seperti kata Zed, ini pertempuranku dan dirinya. Jadi, kau tahulah aku mau ke mana, kamar Bayu. Namanya Rayhan Bayu, namun aku lebih suka memanggilnya Bayu. Ruangannya ada di lantai 5. Di sini sepi, selalu. Sudah sebulan seperti ini terus, bolak balik rumah sakit.

Pintu kukuak kan.
" Hai, Bayu. Apa kabar? Belum bangun?" Lirihku. Aku mengambil kursi dan duduk di sampingnya.
Masker oksigen menutupi mulutnya, sudah seminggu ia memakai benda itu. Sebelumnya sebuah selang di masukkan ke dalam mulutnya ketika masih di ICU. Infusan menempel di tangan kirinya, monitor jantung ada di sebelahku dan sebuah defilibrator untuk berjaga jaga.
Ku usap lembut kepalanya. Matanya terkatup. Jujur, aku rindu rambut bergelombangnya yang bergoyang goyang ketika ia berlari. Aku menghela nafas. Kugenggam tangan kanannya.
" Ayooo, tolonglah, berjuang. Bayu, mereka menunggumu. Orang orang itu merindukanmu."
" Hahaha, ternyata kau ke sini juga?"
" Hmm? Entahlah, Zed. What if he wouldnt wake up?"
" Kamu ini, pesimis lagi." Ia tersenyum, sayap kelabunya terkembang.
" Tapi, kenapa hari ini kamu muncul terus?" Tanyaku bingung.
" Shhh..." ia menyuruhku diam, tangannya menyentuh tubuh Bayu.
" Zeeed!"

" Rai... Raai... Raisa,psstt. Bangun." Suara Rangga membangunkanku.
" Hah?"
" Nih, pesenan lo." Ia memberikanku sebuah keresek.
" Aah, ya makasih." Aku mengambil bungkusan itu. Mataku masih memperhatiakan Bayu. Jemari tangan kirinya bergerak, detak jantungnya meningkat dan ia bernafas sendiri.

" Rangga, maaf. Tapi, lo harus di sini. Gue mau panggil suster."
" Lah, oke deh. Cepetan yaa."
Aku yang bodoh berlari ke ruang jaga, di sana ada beberapa suster. Aku memintanya untuk ke kamar Bayu bersama dengan dokter.
"Maaf, sus. Saya harus ke kantor dulu. Di dalem ada temen saya." Jelasku saat ditanya mengapa menolak ikut ke dalam. Entah apa yang ada dipikiranku, tempat yang ingin aku tuju sekarang adalah kubikelku. Zed pasti marah melihat kelakuanku.

Aku memacu motorku secepat mungkin, agar cepat sampai di kantorku -jalan riau.

Sesampainya di sana aku langsung duduk di kubikelku, lalu menyalakan komputer. Block note bersimbah darah dan sebuah flashdisk sudah ada si atas situ. Aku segera menyelesaikan artikelku tentang kecelakaan tadi.

Klik!
Artikel itu ter publish online.

Seketika perasaan itu muncul lagi. Aku merasa bersalah. Kubikel ku berderit, aku mencari sumber getaran itu.

" Oke, aku tau kamu marah, tapiii, tolong jangan pernah berpikir untuk merusak kubikelku." Aku berkata malas.
" Kau tahu, dia bangun?"
" Kau tahu jawabannya, ga perlu nanya nanya."
" Maksudku, kenapa kamu begitu menyia nyiakan kesempatan kedua?"
" Entalah, aku tidak merasa perlu ada di situ." Cairan sialan itu mulai menetes.
" Kamu perlu, Raisa. Dia butuh kamu."
" Cintanya semu."
" Aaah, ayolaah. Kau ini keras kepala yaa."
" Argh!" Aku menekur.
" Cinta dan jiwa itu abadi, kehidupan yang semu." Katanya.
Aku terdiam sebentar, aliran itu menderas disertai guncangan hebat.

" Lo nangis?" Tanya Andre yang tiba-tiba duduk di mejaku.
" Hah? Engga." Buru buru kuusap air mata itu.
" Ahh, boong aja lu mah." Ia memelukku yang duduk di kursi.
" Bawa mobil?"
" Hah? Bawa kenapa?"
" Anterin gue ke dago ya, ada yang harus gue selesain." Aku masih sesenggukan, tapi perasaanku lebih baik. Zed memang sialan, tapi ia menuntunku.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang