What If ...?#6

70 7 0
                                    

- Ninda
" Ninda..." ia memanggilku lagi, matanya menatapku dalam sekali.
" Kenapa?" Tanyaku dengan suara tercekat, pita suara kampret.
" Kapan ke Jepang lagi?" Aku merasa terintimidasi sekarang.
" Bulan depan bareng Merry." Jawabku dengan suara di mantap mantapkan.
" Oooh."
Aku tahu kenapa jadi begini, kami bukan lagi anak SMA yang masih bisa bercanda. Kami sekarang sudah dewasa, karena itulah perasaan perasaan yang ada ini harus disembunyikan pintar pintar.
" Betah di sono?" Tanyanya lagi
" Biasa aja sih, ga betah betah amat." Hmm, betah bangeudd gak perlu lagi ketemu masa lalu kaya lo, hah.
Sebenarnya aku tidak yakin betul hati ini sudah benar benar tidak lagi menginginkannya, buktinya dari tadi berkali kali aku membetulkan letak kacamata yang bahkan tak sedikitpun berubah.
" Next three months gue mau main angklung di Eropa. Terus bulan depannya bakal ke... Amrik, see you there, Dit. Hahaha" Tama berkata, sambil sesekali melirik ke arah Merry.
" Huuu, gaya. Orang kaya mah bedaaa..." ledek Aurum.
" Ahh, jiga nu susah sia mah, kita ge kan Horang Kayah Squad dari dulu, hahaha." Balas Ira.
Mungkin Ira ada benarnya, persahabatan kami tetap ada, walau perasaan kami harus berubah, ya pastinya.
Tak lama, Aurum dan Ira pamit. Tinggal kami berempat di sini. Ya, betul tak ada satupun dari kami yang mau membuka percakapan. Akhirnya keempat manusia yang masih memikirkan masa lalunya ini terdiam sambil berangan. Yang satu ingin melepaskan, yang satu memilih bertahan, yang satu berpikir untuk pergi jauh dan yang satu lagi sudah mulai jenuh.
Jam menunjukan pukul sembilan malam, entah kejutan apa lagi yang akan Rai berikan. Semoga tidak ada, tapi kuyakin pasti ada.
Benar saja, setengah jam berlalu sosok berkacamata yang sangat kami kenal menampakkan batang hidungnya di balik pintu.
" Eeeh, Sidik!" Adit berseru.
" Haiii, Sidik" sapaku
" Eh, Ninda. Hai... Merry." Satu yang berubah...
***
- Merry
" Eh, Ninda. Hai... Merry " aku terdiam. Terakhir kami bertemu beberapa bulan ke belakang Rai bahkan harus menginjak jempol kakinya agar menyapaku tapi hari ini ia dengan sendirinya menyapaku- janggal.

Rai berlari ke arahku, ia menggendong sebuah tas gitar. Ia tersenyum lebar.
" Merry..." sapanya seperti biasa. Seingatku dia sudah lama tidak menyentuh gitar, bahkan setahuku ia menaruh gitarnya di atas lemari baju di kostan daaan percayalah sangat berdebu.
" Merry, heuheu..." serunya
" Apa heuheu heuheu Rai?" Tanyaku
" Aku didoain ayah cepet kelar skripsi, heuheu heuheu. Tapi kudu balikin gitar ke yang mpunya dulu." Jawabnya
" Siapa gitu?"
" Emanggg! Mang, mau es potong!" Ia malah berteriak memanggil tukang es potong.
" Rasa cokelat satu yaa mang, sama kamu Mer?... Mangga?"
" Yaa, bolelah."
Si emang mulai mengambil es dari dalam gerobaknya, memotongnya lalu menusuknya dengan lidi.
" Nih, neng. Janten opat rebu." Jadi empat ribu. Mang Es potong memberikan es tadi.
" Yeuh mang, uang pas yaa." Rai memberikan uang recehan.
" Aalah, elu mah. Giliran yang kek gini baru mau bayarin. Hahaha."
" Haha, wooiya dong..." rai berkata.
" Mang, aku mau yang rasa ketan dong satu." Suara itu, aku kenal. Ah menyebalkan harus mendengar suaranya.
" Tamaaa... hahaha. Anjayy belinya satu doang, jomblo mah beda." Ledek Rai.
" Dasar, hahaha. Duluan yaa." Ia lalu pergi dengan es potongnya.

Kami terdiam menikmati es potong murmer ini di tepi jalan sepi. Sesepi hatiku, kurasa. Angin berhembus pelan menerbangkan dedaunan, mereka seakan berbisik mengejek perasaanku. Persetan dengan mereka. Hah!

" Sedeeeeeeeeeeek!" (Re: Sidik) lagi lagi Rai berteriak pada sosok di seberang jalan ia lalu menyeberang.
" Haiii, Rai." Ia menyapa Rai. Rai jengah, ia mengerlingkan matanya. Aku agak sedikit mundur. Yaa, lihat saja kakinya, ia sedang menginjak jempol Sidik.
" Aah, Hai Merry..."
" Hehe, maapin , Dik." Rai memelas.

Akupun tersadar dari lamunan. Kami akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Tama langsung dengan motornya. Dan aku memilih untuk naik angkot.
" Mau aku anterin ga?" Tawar Sidik.
" Ah, ga usah." Kataku. Kami sedang berdiri di pinggir jalan. Aku menunggu angkot lewat.
" Ga, bagus loh cewe pulang sendiri malem malem." Lanjutnya.
" Ha? Gak papa kok, udah sering ini."
" Eeh, ya udah aku maksa ikut. Hehe."
Aku menyerah, berdebat dengannya adalah kesalahan fatal. Semua dari kami pernah berdebat dengannya hanya Dita dan Rai yang berani bertahan sampai akhir.
***
- Ninda
Aku hendak berjalan keluar, melalui parkiran. Dari jauh kulihat Merry sudah berdiri di seberang jalan bersama Sidik. Aah, anak itu main embat aja.

" Ente pulang naik apa?" Tanya Adit tiba tiba, ia sedang asyik melempar lempar kunci mobilnya.
" Hah? Naik go jek."
" Mau bareng ane ga?"
" Ga ah. Bisi dikira homo." Kataku iseng.
" Ish, dasar. Baleeg mau ga?"
" Beneeer?" Tanyaku memastikan, ia kadang bercanda ketika terlihat serius.
" Iyaa, beneeer. Mau ga?"
" Yaa... udah deh. Mau aja." Aku akhirnya mau mau aja masuk ke mobilnya dan duduk di jok tengah.

" Aah, elu mah. Gue kaya supir dah kalau kaya gini mah." Protesnya.
" Hehe, ya udah sih emang cocok jadi supir kok." Karena dipaksa aku pindah ke jok depan.
" Tau ga, kalau kaya gini jadi kaya apa?" Tanyaku.
" Kaya apa?"
" Kaya majikan sama peliharaan. Bhak, hahaha." Aku tergelak sendiri, aneh ya.
" Parah ente."
" Wo iya, jelas." Hati ini kembali cair sepertinya. Perasaan yang sempat membeku ini mencair lagi, tapi aku tahu pasti akan membeku lagi. Sama seperti lilin yang dibakar.
" Mau ke mana dulu nih? Nunggu makanan turun" Adit mulai menyalakan mesin mobilnya.
" Mau ke mana emang?" Aku malah balik bertanya.
" Mana yaa? Hmm, ah yaa... kita ke sana!" Serunya.
" Ke mana ai sia?"
" Kee situ..."
" Geje sia mah, ke mana?" Adit membelokkan mobilnya, keluar dari parkiran.
" Hahaha, kita main kebut kebutan yaa."
" Eh, ke mana nih?" Tanyaku penasaran.
" Pake tuh sabuk pengaman baru ane kasih tau."
" Aaah, elu mah gitu, Dit." Aku memasang sabuk pengaman.
" Nah, gitu doong."
" Jadi ke mana?"
" Kitaaa..."
" Iyaa..."
" Mau, ke"
" Ke mana?"
" Ke... ke ciwidey."
" Yeeey."
" ..."
" Hah? Seriusan?"
" Iyaa, udah ikut aja."
" Oke, deh. Gabut juga di kostan. Hehe."

Adit membawa mobilnya masuk ke kepadatan jalan Riau. Dan terus melaju, ke jalanan yang terus menjadi sepi. Getar metropolitan mulai remang saat masuk ke jalan tol. Yaa, kau. Adit, benar. Terserah kau saja hari ini, aku tak peduli sangat.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang