What If...?#8

76 7 1
                                    

- Rai
Smartphoneku sengaja aku matikan. Pesan pesan berkala sudah aku tulis, tinggal menunggu terkirim. Bandung sudah gelap dan sepi.

" Makasih, Ndre." Aku melepas sabuk pengaman.
" Kalau ada apa apa, inget, telfon gue." Katanya sambil menatap mataku yang masih sembab, tangannya menggenggam tanganku, menahan aku agar mendengarnya dulu.
" Iya iya iya... dan lo boleh membiarkan gue pergi sekarang Andreas Pratama." Balasku sinis. Aku keluar dari mobilnya.

Lantai dasar sudah sepi, meja administrasi sudah dimatikan lampunya tidak ada lagi pegawai yang duduk di belakangnya. Kebanyakan orang sedang berjalan keluar, yang lalu lalang hanyalah suster dan ob.

" Ahhh." aku terpekik ketika pintu lift terbuka. Ia berdiri di situ dibalik pakaian abu abunya, membuat aku kaget saja.

" Maaf soal kubikelmu,  aku benar benar kesal ketika orang orang terus menyia nyiakan kesempatan kedua yang mereka punya." katanya meminta maaf. Kali ini aku benar benar sendiri, ia sama sekali tidak menggunakan tubuh orang orang yang lengah. Aku benci ketika mata hatiku terbuka secara tiba tiba sebulan yang lalu, aku terdesak dan bertemu dengannya di dalam ambulan lalu pingsan -memalukan.

Pintu lift terbuka di lantai satu. Seorang wanita muda berjas putih masuk sendirian. Pintu lift tertutup lagi.

" Terimakasih sudah mendengarkanku." katanya lagi.

" Terserah," desisku.

" Jangan pernah berpikir untuk tidak mengunjunginya lagi, atau aku akan mengunjungimu untuk menyelesaikan tugas kapanpun aku mau."

"  Ya ya ya,  terserah. Siapa peduli. Kadang aku berharap kau melakukannya sekarang juga, aku sudah muak dengan semuanya."

" Dia memang kadang kadang menyebalkan, cukup dengarkan jangan terlalu ditanggapi." ucap dokter di sebelahku. Oh ya, dia dokter yang aku temui beberapa jam yang lalu di meja perawat. Aku terdiam.

" Zed. Dia memang begitu" ulangnya sebelum keluar dari lift di lantai 3.

Tak lama, lift berhenti di lantai 5. Aku segera keluar dan menuju kamar Bayu. Lorong temaram dan suara mesin pendingin ruangan membuat aku tiba tiba merinding.

Jadi, ternyata selama ini bukan aku saja yang bisa melihatnya.

Sekarang pukul sebelas malam lebih tiga menit. Rangga berdiri bersandar pada dinding luar ruangan.

" Ada siapa?" Tanyaku.
" Salma, Arull, Luki, sama Rafi."
" Oh, yaa udah. Lo pulang aja, biar gue yang nunggu sampe besok."
" Okeee, btw yang tadi lo belum gantiin duitnya."
" Ah, haha. Iyaa, belum aku makan malah masih di tas. Jadi berapa?"
" Tujuhpuluh empat ribu duaratus."
" Duaratusnya juga harus gue bayar?" Kelakarku sambil mengambil uang dari dompet.
" Yaa, ga harus sih, wajib."
" Ga ada dua ratusan, noh maratus weh merean karunya." Nih lima ratus aja ngasih kasian. Aku memberikan uang lima ratusan terakhir.
"Nuhunnya." Makasih yaa. Kataku lagi.

Handphoneku bergetar. Yaa, aku membawa dua handphone yang satu smart yang satu tole hahaha, maksudnya yang cuma bisa pake sms sama telpon terus sim cardnya cuma satu tapi batrenya kuat seminggu kaga di charge. Aku bawa sebagai kontak emergensi. Hanya keluarga dan rekan kerja yang aku beri nomor ini.

From: Haris
Udh buka mail? Gw ngirim yg lo minta tempo hari. Filenya .rar . Biar kesannya kaya tumpukan kliping haha. Canda, emang banyak jadi compress. G'luck yaa, lo pasti bisa ;*

" Idiiih, muke gile die." Bisikku. Kami berdua masih terdiam di depan pintu.
" Mata lo kenapa?" Tanya Rangga.
" Biasa kelilipan deadline."
" Oooh."

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang