Dilamar atau di kamar?

91 6 0
                                    

- Ninda
Sebuah pesan baru masuk.

Masih ada kamar kosong deng, hehe. Tadi bercanda mbaaaa ampuuun.
p.s. no need to reply

Sudah kuduga, ia memang sialan selalu bercanda. Aku tak bisa tertidur sejak tadi, berbanding terbalik dengan Adit yang sudah terlelap. Anak anak kunci yang ia genggam jatuh ke lantai, aku meraihnya dan keluar dari ruangan.

Sebuah pintu di sebelah tampaknya meyakinkan. Satu persatu anak kunci aku gunakan untuk membukanya. Sampai anak kunci kelima aku masih belum bisa membukannya, sampai akhirnya aku membukannya setelah mencoba delapan anak kunci.

Kamar ini lebih besar dari kamar tadi. Ruang ini hanya memiliki sebuah ranjang ukuran king dan sebuah lemari baju dari kayu jati. Satu satunya hal yang ingin aku lakukan adalah segera berbaring tidur lalu bangun dan pulang.

Hawa dingin sudah menyerap ke dalam selimut, sehingga percuma saja pakai selimut. Smartphoneku hampir kehabisan baterai sayangnya aku tidak membawa charger. Dan parahnya ada panggilan masuk.
Ya sudah kucoba angkat saja.

" Haloh."
Nindaaa
" Apaan cuk?"
Lagi di mana?
" Di kamar, aduuuh ngantuk."
Hah! Dilamar?
" Woy di kamar coeg, mau tidur."
Oooh, tidurnya bareng?
" Si coeg, udah ah. Ada apa sih?"
Memastikan saja kalau kau belum di anu in sama dia hahaha
" Kampret lu."
Hehe, ya udah tidur sanah
" Titadi coeg." Dari tadi dong.

Ia membangunkan ku sebelum subuh.

" Ayo, jalan. Ane udah hubungin Rai, gak usah sediain sarapan dia tau kita pergi lebih cepet." Katanya dengan suara pelan.
Meski di dalam rumah hawa dingin masuk menyelinap lewat ventilasi, aku merasa seperti di dalam lemari es. Pukul tiga kurang dua menit.

Sekarang aku sedang berjalan sambil mengigil menuju mobil Adit di parkiran.
" Mau ke mana sih subuh subuh? Lagian kalau mau liat sunrise masih kelamaan juga kaliii." Protesku sambil mengosokan kedua tanganku.
" Hehe, ke mana weh." Ia membuka pintu mobil lalu masuk duluan aku mengikuti.
Tak berbeda dengan di luar di sinipun sama saja dingin. Aku mulai khawatir asmaku kembali kambuh. Karena masih mengantuk aku memilih untuk tidur di mobil.
Jalanan masih gelap, hanya beberapa mobil bak lewat membawa ternak atau sayur segar. Hey, benar aku tidak di Bandung. Adit mengendara perlahan. Suara suara binatang malam samar samar terdengar dari luar. Sesekali terlihat pengendara motor berpakaian sarung dan kupluk, beberapa membawa senter. Aku diberitahu Adit, mereka pemetik teh. Jalanan mulai menanjak, walau dari tadi memang sudah menanjak, kali ini tanjakannya lebih tinggi dan panjang. Udara dingin membuatku susah terlelap.

Aku terbangun oleh tepukkan halus di pundak.
" Udah nyampe?" Tanyaku sambil mengelap mulut, barangkali ada yang keluar.
" Udah dari tadi kaliii, elu nya aja yang lama di banguninnya."
" Hehe, sori bang."
Kami keluar dari mobil. Jam menunjukkan pukul setengah lima. Adit parkir di depan sebuah warung kopi.

" Mau pesen apa lu?" Tanyanya, ia duduk di sampingku, sebenarnya akupun tak mau duduk di sampingnya, tapi karena alasan udara terlalu dingin, kami duduk bersebelahan untuk menyingkirkan hawa dingin. Lagipula menurutku lebih baik kami sarapan di villa. Ide siapapun ini, bodoh sangat. Pertama ini terlalu subuh untuk makan, dua ini pegunungan dan dingin, tiga masih gelap.

" Buuu, 'internet' nya satu jangan pake pedes." Kataku pada seorang wanita paruh baya di balik etalase kosong.
" Gak pake nasi gak papa, belum bikin euy."
" Gak papa buu."
" Kelamaan hidup di kosan ya ente, makan mie mulu."
" Ehh, orang adanya juga mie, kumaha sih." Gimana sih.
" Heuh. Buu internetnya satu lagi yaa."
" Siap deen."
" Luu ngapain lagi ngajak ke sini kalau kaga mau makan mie."
" Suka suka laaah, lu lagi mau ikut ikut hiiih."
" Berisik ah, masih ngantuk tau mana dingin lagi." Protesku sambil mengusap tengkuk karena kedinginan. Tak lama si ibu membawakan dua mangkuk mie yang masih mengepul ngepul.
Masa bodo dengan panas, aku mulai menyeruput kuah mie yang gurih. Sementara itu Adit sibuk mengaduk mienya agar cepat dingin.

" Uwdwah di makwan ajahhh, wong nantwih juwha dinghin sendirih kowk."
" Situ kalau makan yaa makan ajaaa kali, gak udah sambil komentar."
" Bewisik luwh, udwah dibilangginh juwha makwan ajaaahhhh."
" Iyeeee."
Warung ini masih kosong, cuma kami berdua yang ada. Ruangan sebesar 5 meter ke 4 meter ini di isi tiga meja panjang dan sebuah etalase juga konpor. Bagunannya dibuat dari kayu dan triplek, tak berpintu juga jendela, hawa dingin masuk dengan mudah ke sini. Tapi tampaknya si ibu tidak terpengaruh sama sekali walaupun hanya berpakaian daster motif bunga dan sendal jepit.
Belum juga aku menghabiskan mie, dua buah motor dengan lampu depan yang redup parkir di depan warung, membuatku hilang konsentrasi makan.
Dari kedua motor itu turun dua orang wanita paruh baya dan dua orang bapak bapak. Keempatnya memakai jaket dan sepatu. Para bapak memakai sarung untuk menutupi kepalanya sedangkan ibu ibu menggunakan masker dan caping. Dua dari mereka membawa dua bakul kosong. Semenjak kedatangan mereka warung jadi sedikit hangat dan ramai dengan percakapan mereka.

" Nambah lagi gak lu?" Tanya Adit.
" Nambah deh, hehe."
" Mau gorengan ga?"
" Boleh boleh."
" Buu, internetnya nambah satu sama minta gorengan yaa."
" Okeee."

Jam menunjukkan pukul lima lebih lima belas. Adit memilih untuk melanjutkan perjalanan, sebentar lagi matahari akan terbit. Semburat oranye samar samar mulai terlihat di ufuk. Adit menghentikan mobilnya di tempat yang agak tinggi, sejauh mata memandang semuanya kebun teh. Kiri kanan, depan belakang. Semuanya hijau tapi masih tertutup gelapnya subuh.
Kami turun dan duduk di atas batuan di antara kebun. Dari teksturnya mirip seperti batuan karang, mungkin dulu sekali tempat ini pernah terendam air.

Warna merah dan oranye mulai melukis langit sedikit demi sedikit. Gumpalan awan dan kabut mulai berarak arak pergi memberi jalan bagi sang mentari untuk bersinar.

" Untuk tau segimana orang itu berharga buat kita, kadang kita juga harus rela ninggalin dia dan mandang dia dari jarak aman supaya dia gak terluka..." kata Adit mengambang.
" Kaya misalnya awan awan itu, mereka terbang bukan karena gak mau liat matahari terbit dengan indahnya, mereka memilih untuk pergi lebih jauh agar bisa terus menikmati sinarnya tanpa harus menguap..." lanjutnya sambil menunjuk ke langit.
" Terus?"
" Dan itulah yang selama ini aku lakukkan." Ia mengganti kata gue atau ane jadi aku.
" Jadiii?"
" Dari semua orang yang pernah ikut ngedampingin, cuma kamu orang masih bertahan sampe sekarang." Jawabnya mantap.
" Mau ga, ngedampingin ehem, aku sampai nanti, dan seterusnya?" Ia bertanya dengan sangat yakin.


What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang