What if I'm only dreaming?

19 1 2
                                    

Kakiku terantuk batu di trotoar. Seketika aku ingat tujuanku berada di sini. Aku melihat ke sampingku, cowo itu berjalan sambil membawa beberapa buku di tangannya.
Musim kemarau hendak berganti jadi penghujan. Angin senja belakangan ini cukup dingin. Aku merapatkan jaketku, sementara temanku berjalan menyisir rambutnya ke belakang. Sekali lagi angin senja menerpa dan daun daun kering di dahan pohon berguguran seketika.
Pernahkah daun-daun itu membenci angin? Karena jika saja tidak ada angin mereka tidak akan jatuh ke bumi. Pernahkah pohon itu membenci angin? Karena jika saja tidak ada angin mungkin ia tidak akan kehilangan daun-daunnya.
Kami berdua berjalan dalam diam, dihujani guguran daun, dijalari rindu. Tangan kami saling menyentuh tapi tak saling mengenggam. Perasaan berdebar apakah ini?

Waktu senja memang cocok untuk segelas kopi. Dan momen yang tepat untuk perpisahan.

Ia berjalan terlebih dahulu kemudian duduk di sebuah meja di dekat bar. Seorang waitress mendekatinya memberikan sebuah menu.

"Mau pesen apa?" Tanyanya begitu aku duduk di dekatnya.
"Ikut kamu aja deh." Replyku sambil menaruh tas di atas meja dan mengeluarkan beberapa buku.
"Iih, apa yaa? Bingung. Kamu mau apa?" Keluhnya.
"Ya udah aku mau pesen cafe latte aja." Kataku memutuskan.
"Oke, aku mau hot chocolate kalau gitu."
"Bayar sendiri aja, Ray."
"Udah ga usah, aku aja." Ia berjalan ke kasir dengan dompetnya.
Sudah sembilan bulan berlalu sejak pertemuan terakhir kami, rasanya gak enak kalau harus ditraktir.

"Mau mulai dari mana dulu?" Tanyaku begitu ia duduk di kursinya.
"Hmm, ini deh liat. Aku gak terlalu ngerti sama cara penyelesaiannya." Ia membuka sebuah halaman yang sudah ditandai.
"Ooh itu, tar." Aku mengeluarkan kertas dan mulai menghitung sambil menjelaskan padanya.
Ia lebih tinggi dari sebelumnya tapi ia terlihat ringkih.

"Kamu apa kabar?" Ia menutup buku-bukunya dan bertanya.
"Ya gitu deh, lumayan baik. Kamu?"
"Baik, eh Rif, aku sekarang udah berubah loh. Hehehe."
"Ntaps, akhirnya seorang Rayhan berubah setelah sekian lama." Komentarku antusias.
"Udah ga pernah mabal, celana udah gak dipensil, yaa tapi tetep ke warung sih. Hahaha."
"Haha, setia yaa."
"Iya dong."
"Eh Bayu sama Rai gimana kabarnya? Hahaha." Katanya lagi.
"Ya gitu deh, hehe. Masih ada kok."
"Masih nulis?"
"Masih, tapi belum lanjutin Bayu sama Rai."
"Wah sayang banget. Kalau lanjut kasih tau yaa nanti aku baca." Katanya penuh antusiasme. Aku tersenyum mendengar penuturannya.

Akankah senja ini aku menjadi daun-daun kering yang jatuh tertiup angin. Lagi-lagi tangan kami saling bersentuhan tapi tidak saling bertatutan. Kenapa aku jadi sangat delusional ketika ada di dekatnya. Jatung ini berdegup, berdegup, berdegup. Rongga di dadaku rasanya semakin besar sampai debaran itu bergema. Air mataku sudah ada di pelupuk, tinggal menunggu aba-aba untuk jatuh. Melihat dirinya bahagia dengan kehidupannya yang baru. Entah euforia apa yang aku rasakan, sedikit bahagia tapi penuh kecemasan.

"Eh, kamu gimana sama Nadia, masih?" Tanyaku hati-hati.
"Masih dong, hehe." Jawabnya bersemu semu.

Angin itu perlahan mengalir di rongga dadaku. Aku sudah siap. Hatiku melambung tinggi. Ini saatnya. Perlahan ia jatuh lalu terhempas kasar dan yang tersisa hanyalah kepingan kecil yang berserakan.

Manik matanya menatapku, ia seakan menyedot semua intensiku. Mata gelapnya memantulkan andromeda yang cantik. Aku resah. Cahaya-cahaya ajaib itu berpendar di hatiku. Ini sudah terlalu jauh, aku tidak boleh lagi jatuh padanya. Aku engga jadi meteorit yang menetrasi atmosfir bumi dan terkikis dan terbakar lalu jadi abu atau lebih sakit jika harus mencium bumi dengan kecepatan tinggi, aku bisa lebur.

Ketika salam perpisahan telah terucap. Deru angin itu kian membesar. Rintik rintik air itu akhirnya jatuh juga dari mataku. Angin itu membawaku terbang tinggi lalu menghempaskannya. Perasaan itu telah lebur jadi abu dan lenyap.

Ini saatnya untuk berkata, SELESAI.***

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang