Malam Pengakuan

61 5 0
                                    

- Rai
Aku sedang memasak makan malam. Genta bilang ia akan datang tak lama lagi. Setelah tadi siang bertemu Rizki, ketiga rekanku langsung bertanya kenapa aku lama sekali. 'Ngantrinya lama, hehe' jawabku.
Hari ini melelahkan memang. Rasanya aku ingin merebahkan tubuhku di atas kasur lalu tidur untuk tiga hari kedepan.
" Kamu orang yang tangguh, jangan biarkan orang orang disekitar membuatmu rubuh. Aku ingin lihat lagi kau yang dulu."

Kalimat itu terus terngiang di kepalaku, sudah lama aku berubah sampai sampai aku lupa kalau aku telah berubah. Aku kembali teringat Rendi, sepertinya. Dulu dia poros hidupku, mentari buat si bumi. Sembilan tahun lalu aku duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama, Rendi di kelas dua sekolah menengah atas dan Rizki tahun ke tiga kuliah, ia kuliah di Jakarta kadang kala ia pulang seminggu sekali kadang juga sebulan sekali, aku tidak terlalu dekat dengannya. Rendi selalu ada di dekatku, apapun yang terjadi. Belakangan ia mulai pulang telat, wajahnya babak belur, seragamnya kusut. Meski begitu ia masih ada untuku, menemaniku memotret di akhir minggu.
Siang itu, seusai ujian nasional aku mengunjunginya di tempat biasa ia nongkrong, jalan tirtayasa, di situ ada kios kecil warna putih. Ia sedang bermain kartu dan menolak pulang bersamaku. Malamnya ia pulang, benar benar pulang secara harafiah. Dua tahun setelahnya aku diceritakan seorang temannya.
Sore itu jalan Tirtayasa sepi. Rendi dan empat kawannya masih nongkrong di sana. Tiba tiba sekitar sepuluh motor mengerubungi mereka dan mulai beradu mulut. Awalnya hanya berkata kasar dan memaki, akhirnya mereka saling berteriak dan terjadi perkelahian fisik. Tak satupun hendak mengalah, Rendi dan empat kawannya kewalahan. Semuanya berhenti seketika, kerumunan itu bubar, Rendi tertusuk di perut. Katanya lukanya cukup dalam dan ia kehabisan darah. Aku shock, walau sudah terlambat.
Lamunan itu membuatku cukup teralihkan sampai tidak menyadari kalau bel apartemenku berbunyi sedari tadi.

" Hei." Ia memakai sweater yang dirajut dengan benang cokelat dan... parka? Kurasa Bandung tidak sedingin itu. Ia menatapku dengan mata berbinar.
" Hei, sori lama."
" Iya nih gue nungguin depan pintu udah sejaman lebih hahaha."
" Suka mendramatisir dasar, masuk yu." Aku mempersilahkannya masuk. Genta melepas parkanya.

" Udah makan?" Tanyaku sambil meraih parkanya.
" Belum, hehe."
" Gue udah masak, sono makan dulu. Ini biar gue simpen, ribet lo orangnya." Ku ambil parkanya dan berlalu untuk menaruhnya di hanger yang ada di tengah ruangan.
" Okeee."

" Pinter masak yaa lo sekarang." Komentar Genta yang sedang mengunyah wagyu beef yang aku beri bumbu teriyaki.
" Ga juga..."
" Enak tau." Pujinya
" Tumben mulut lo dipake muji, biasanya buat ngolok ngolok gue."
" Gue udah berubah."
" Hahaha."
" Termasuk perasaan yanh gue punya."
" Maksudnya?"
" Bikin desserts ga lo?" Tanyanya.
" Engga, hehe."
" Ya elah, makan malam macam apa yang ga ada dessertsnya." Ia mencibir.
" Idih, sejak kapan lo minta dessert."
" Sejak jauh dari lo."
" Hah?"
" Haha, lo tuh kaya desserts, ada yang manis ada yang asem, tapi kalau dibalik jadi stressed, hahaha. Jauh dari lo itu bahaya."
" Ga ngerti."
" Intinya lo macem macem, aneh, ga jelas, gitu lah."
" Ih."
Keheningan muncul mengiringi dentingan pisau garpu yang beradu dengan piring.

" Gue gak bisa lama lama, sori banget."
" Ya udah ga apa apa."
" Sebenernya gue ke sini buat ngasih ini doang." Genta menyodorkan sebuah undangan pernikahan. Aku bergantian menatapnya dan undangan putih bermotif floral yang ia sodorkan. Aku hanya tersenyum miring.
" Makasih."
" Jangan berhenti jadi dessert, gara gara ini. Lo tetep spesial buat gue."
" Gue ngerti kok." Sahutku.
" Kalau gitu gue pergi dulu ya." Ia merangkulku dan mengecup keningku seperti dulu.

Genta pergi dalam balutan pakaian yang seolah ia berada di kutub itu, meninggalkan aku dengan undangan yang ia berikan dan perasaan yang langsung menohoku seperti ini. Cinta emang gak bisa dipaksakan.
Mungkin ini sebab kenapa persahabatan antara cewe dan cowo itu kadang gagal. Kalau yang satu gak ngilang pasti yang satu lagi memendam cinta.
Aku memadamkan semua lampu. Rintik hujan turun membasuh jendela besar di depanku. Aku bersandar padanya, jendela yang kaku nan dingin.

[Bayu]
Incoming call...

" Halo."
" Hai, ngapain gelap gelapan?" Aku mendengar suara pintu terkuak, lampu dari koridor menerobos masuk menyilaukan mata membuat bayang seorang yang masuk itu tak nampak jelas. Suara orang dibalik telepon itu makin jelas, derap langkahnya bisa kurasakan, aura yang ia bawa berbeda dengan yang biasanya.

Aku tak peduli apapun lagi. Siapapun yang mau masuk masuklah, aku sedang lelah.

" Emang sepenting apa sih kejadian hari itu buat kamu?" Sosok di belakangku bertanya dengan suara pelan. Aku tak bersuara dan hanya menggeleng.
" Tanggal itu sepenting apa sih?" Tanyanya lagi, aku bisa merasakan ia semakin dekat.
" Hari itu di tahun yang berbeda... hal buruk pernah terjadi." Kuusap air mata yang mengalir menuruni pipi.
Kubisa mendengar desah nafasnya.

Mataku sibuk menatap keluar jendela. Kerlip lampu menghiasi kota kecil ini. Paris van Java. Kota kesayangku, kota Paris di pulau Jawa. Sejuta bintang di langit kalah cemerlang dengan ribuan lampu kota. Sekali lagi aku bisa merasakan apa yang ia lakukan. Kedua tangannya merangkulku, membuatku tak bisa bergerak. Tangan itu melintang di depan dadaku, sengaja mengunciku dalam peluknya.

Helaan nafasnya jelas di telingaku. Ia kembali membisikkan sesuatu." Cinta itu buta." - tapi hatiku enggak." Lanjutnya.
Dagunya bertumpu di atas kepalaku, kedua tanganku menggelantung pada rangkulannya. Ini pertama kalinya aku merasa nyaman ada di dekatnya, ingin rasanya meluapkan segalanya sekarang.

" Rai... udah cukup kejar kejaranya."
" Minggu depan temenin aku yaa?" Pintaku.
" Ke mana?"
" Kawinan temen."
" Yang tadi ke sini?" Aku mengangguk.
" Tadi aku ketemu di lift."
" Yang waktu itu suka barengkan kalau ke circle k?" Tanyanya lagi, aku mengangguk lagi.
" Aku yang bodoh ini hanya berani mencintainya diam diam." Kataku.

Hujan masih turun, akupun masih dalam peluknya. Mungkin sudah satu jam ia memeluku tanpa bersuara. Ia bukan tipe yang banyak mengungkapkan kata kata romantis. Kalau kalian pernah baca Dilan-nya Pidi Baiq, mungkin Bayu sebelas duabelas dengan Dilan. Kadang ia membuatku bingung untuk bereaksi. Ia kadang membuatku merasa istimewa tanpa harus ia berkata aku istimewa. Dia ajaib, dia sihir.

" Kamu cinta hujan, aku cinta kamu." Ia tiba tiba berkata seperti itu.
" Maksudnya?"
" Iyaaa, gitu maksudnya."
" Makasih."
" Sama sama."

" Kamu tuh yang dulu suka mukul mukul Rendi kan?"
" Iya, dia sering kabur dari rumah."
" Mulai sekarang kamu boleh kaya gitu sama aku."
" Gimana?"
" Kamu boleh ingetin aku, kasih tau aku, kamu juga boleh ngelarang aku nongkrong."
" Jangan pernah berpikir buat berubah. Cinta memang bisa merubah orang tapi aku lebih suka dia apa adanya... kamu tetap kamu, jangan dirubah, aku suka."
" Kamu kapan sih ninggin?" Ia mulai bertanya hal hal yang diluar dugaan kan.
" Ga akan, udah setelanya kek gini. Kamu tuh yang ketinggian."
" Yakin?" Ia membalikan tubuhku, ia sedikit membungkuk, membuatku menatapnya secara langsung. Bayu tersenyum, senyum hangat yang hanya dia seorang yang punya.
" Apa sih..." aku dibuat bingung dengan kelakuannya.
" Ada yang lebih aku takutin selain cinta bisa bikin kamu buta."
" Emangnya apa?"
" Kamu buta beneran." Wajahnya tiba tiba serius.
"..." belum sempat aku berkata kata ia sudah duluan meraih tangan kananku, meletakanya di pipinya.
" Ini cuma jaga jaga siapa tau kamu nanti buta, tapi semoga engga." Digerakkannya jemariku di atas wajahnya. Aku hanya terkekeh menanggapi tingkahnya. Dahi lebar, kacamata hipster, mata sipit, hidung mancung dan bibir tipis, itulah dia.

" Maaf udah sering bikin susah. Maaf jadi harus ikut masuk dalam masalah. Maaf tadi kamu jadi harus lari lari. Maaf buat semua salah aku." Ia berkata sambil menyisir rambutku ke belakang lalu tersenyum lagi.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang