Dikejar (masa lalu)

65 6 0
                                    

- Rai
" Hai, Rai. Hai, Ndre" Panggil sebuah suara.
" Eh udah dateng?" Aku sibuk dengan smartphoneku.
" Duduk aja, kalau mau pesen langsung aja. Gue yang bayar." Jemariku beralih pada mac milik orang yang duduk di sampingku. Kedua orang tadi duduk bergabung.
" Tinggal lo masukin aja fotonya, terus upload." Kusodorkan kembali benda berwarna silver tersebut.
" Sehat Rai?" Tanya Merry yang tadi datang bersama Indra.
" Ah, ya lumayan" aku mengaduk morning grey yang dari tadi mengepulkan asap.
" Yakiiin?" Tanya Indra mengintrogasi.
" Ya. Kin. Bang. Et."
" Sori yaa, lo jadi uring uringan gini." Kata Andre.
" Serahlah udah selesai juga kali."
" Kenapa sih Rai?"
" Eh, enggak."
" Yang tadi yaa?" Celetuk Indra. Aku hanya mengangguk.
" Iiih, guekan gak ikut masuk tadiii. Kenapa sih?"
" Biasalah, banyak yang kepo di dalem." Jawab Andre asal.

Aku tidak mau beranjak dari kubikelku, Andre menarik tanganku namun aku melawan. Aku ingin tetap tinggal. Ikut dengan dirinya ke persidangan adalah sama dengan aku bunuh diri. Kang Wahyu meyakinkanku untuk ikut, ia yang menjamin keamananku.
Kebetulan gedung kejaksaan gak terlalu jauh, jadi cukup jalan kaki.
Semuanya berjalan lancar, sampai akhirnya setelah selesai puluhan wartawan datang menyerbu Bayu dan membom bardirnya dengan pertanyaan. Aku berada di antara kerumunan itu paling depan malah, Andre di sampingku. Aku tidak terlalu banyak bicara dan melontarkan ratusan pertanyaan seperti yang lain. Semuanya baik baik saja sampai detik itu. Tidak tahu dari mana asalnya, ada seorang wartawan yang menyinggung soal hubunganku dengan dirinya. Siapapun dia akan aku cari tahu. Tanganku mengepal. Andre mencengkram tanganku, aku bisa merasakannya ia perlahan berjalan mundur. Semua orang menatapku tajam, awalnya mereka berbisik lalu memperhatikanku dari atas sampai bawah. Andre menarikku keluar dari kerumunan. Beberapa tetap tinggal di sana dan sisanya ikut mengejar kami.
Aksi kejar kejaranpun terjadi di dalam gedung kejaksaan. Chaos. Satu kata yang sangat pantas untuk semua kekacauan itu.
Kami akhirnya keluar dari gedung, tapi di luar belasan wartawan lain berusaha mencegat juga.
Andre membawaku berlari, terus berlari dari halaman kejaksaan. Kami selamat untungnya, ia membawaku ke ke sebuah kafe untuk bersembunyi. Aku langsung menghubungi kang Wahyu dan Indra.
Kacau! Sialan!

" Raiii!" Seseorang memeluku dari belakang.
" Bundaaa..."
" Stop manggil gue bunda, plis."
" Bundaaa!" Seru Merry.
" Adit mana?" Indra bertanya.
" Di luar, tar lagi juga masuk kok."

Ninda masih memelukku. Aku memperhatikan jemarinya.
" Ninda!" Aku setengah berteriak sambil memegang tangan kirinya.
" Apah?"
Aku menarik tangan kirinya dan memperlihatkannya pada semua orang yang ada di situ.
" Nindaaa!" Merry juga berteriak kaget.
" Ketinggalan apa ane?" Tanya Adit dengan wajah polos.
" Adiiit!"
Semuanya tertawa.
Sambil menahan tawa, kami semua mencoba duduk tenang.

" Ninda, Adit. Kalian berdua utang penjelasan sama kita, terutama sama gue." Kataku sambil memegang perut.
" Penjelasaan apaan sih?" Ninda mengelak.
" Eh, ada yang nitip buket tadi di luar, buat Rai katanya." Adit memberikan sebuah buket bunga. Lagi lagi mawar putih dan lavender.
" Seriusan buat gue? Dia ga nyebut nama gitu atau apa?"
" Ga, cuma nitip doang."
" Oooh, ya udah makasih."
" Ih, kalian gak bilang bilang sama gue parah." Celetuk Indra dengan nada menrajuk yang terdengar lucu.
" Bilang apa sih?" Tanya Adit.
" Rizki?" Bisik Andre di telingaku.
" Mungkin, entahlah siapa lagi. Lagian cuma dia yang tau soal bunga itu." Aku menghirup aroma dari buket ditanganku.
" Eh, Dit. Kunci vila gue di mana?"
" Tar." Ia meraih ke dalam sakunya lalu mengeluarkan segundukan kunci. " Noh."
" Hehe, siplah."
" Lo kaya Willy Wonka sumpah deh. Kunci segitu banyaknya disatuin di satu gantungan." Komentar Ninda sambil menunjuk puluhan kunci yang aku pegang.
" Nin, gimana iiih cerita atuh." Pinta Merry.
" Ah, nanti aja malu." Ia menutup wajahnya dengan buku menu.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang