What If ...? #3

142 9 4
                                    

- Rai
" Wira?" Sapaku, entah menyapa entah bertanya. Bunyi klakson dan mesin motor terdengar dari jauh, meninggalkan tempatnya yang semula.
Beberapa menit yang lalu Genta bilang ia sudah di depan, tapi kenapa sekarang yang ada adalah Wira.
" Iya, hehe. Sehat? Tadi ada gojek nganterin jus nih, tapi katanya ga usah dibayar." Ia mengangkat sebuah kresek putih berisi jus berwarna merah.
" Oh. Udah pergi ya?" Tanyaku
" Udah kayanya. Makan keluar yu." Ajaknya.
" Mmm... sori Wir, lagi ga enak badan nih. Hehe."
" Ya udah gak papa, istirahat aja." Ekspresi kecewa seketika menyergap wajahnya, tangannya mengusap puncak kepalaku. Entah kenapa rasanya jadi beda. Bedaa banget. Ga kaya sebelumnya. Getaran itu kayanya malah pudar, cepat pula.

Sekarang aku malah justru menginginkan Genta yang di sini. Kenapa? Kemarin kemarin rasanya gak kaya gini. Odd. Firasat? Kita berbahasa alam, harusnya mengerti pertanda kan? Mungkin.

***
Years passed...
-Merry
Tahun tahun sibuk akhirnya berlalu hari ini dengan bangga aku memakai pakaian hitam ini, toga. Aku memang yang terakhir wisuda dibanding Rai dan Ninda. Tapi, aku tetap senang.

Rai memelukku erat, ketika aku sudah terbalut kebaya berwarna hijau pastel. " Merry has a little lamb akhirnya wisudaaaa." pekiknya.

" Iyaaa, makasih udah dateng. Sendiri?" tanyaku.

" Hu uh, ya habis gimana lagi? Ninda udah ngacir ke jepang mentang mentang lulus duluan."

" Hahaha. Genta gimana?"
Ia terdiam sejenak, raut mukanya berubah agak muram lalu kembali tersenyum seperti biasa.
" Biasalah, dia mah ngilang mulu nanti tau tau ngajak ketemuan di mana aja." Katanya sambil terkekeh.
" Kalau Wira? Hihi."
" Ga tau. Gelap ah, hahaha." Ia tertawa lepas.
" Malem jalan yuk, nanti gue jemput di kosan, kita jalan jalan ke tempat kita dulu suka bareng, hahaha."
" Hayu, momennya pas pisan Mer." Ia sudah kembali artinya.
***
- Rai
Aku duduk menunggu di teras kos, sekarang pukul setengah enam. Angin malam membuat kudukku berdiri. Aku siap dengan jeans biru dan kameja putih dan tak lupa sebuah sweater berwarna abu.
Kenapa abu? Karena abu tidak hitam atau putih, ia hanya abu.
Klakson mobil Merry terdengar nyaring di gendang telingaku, aku lalu menghampirinya lalu masuk ke mobil.

" Ke mana?" Tanyaku.
" Bisa ga pertanyaanya jangan itu?"
" Engga, hehe."
" Pandal?" Sarannya.
" Pandal...? Boleh." Tempat itu, haha. Tempat yang dulu cukup sering kami pake nongkrong. Kenapaa? Soalnya, simpel aja. Yang punya cafenya 1) Orang Bandung, 2) Penulis, 3) Bukunya terkenal, 4) Quotesnya keren, 5) Orangnya gahool, hahaha.

" Lo masih di kosan?" Tanya Merry.
" Iyaa, sampe ngurusin apartemen beres jadi sementara aja."
" Cielah apartemen."
" Ooh iya dong, kan hoorang kayaaaa." Seruku.
" Hahaha, malam ini nostalgia nih kitaa."

Kami terus mengobrol sampai akhirnya tidak sadar kalau mobil Merry sudah berada di jalan Martadinata. Ia membawa mobilnya perlahan menurunin jalan riau lalu berbelok ke kanan ke arah flores lalu ke ambon.
Merry memarkirkan mobilnya. Kami turun dan memilih untuk makan di area outdoor. Berhubung tidak lapar aku hanya pesan nasi goreng dan jus jeruk.

" Tadi katanya udah makan di kosan."
" Haha, emangs. Kalau belum mungkin aku dah pesen mie baso, kwetiau, mie goreng, ayam bakar, jus alpuket, stoberi, yogurt..."
" Udah, Rai. Gak udah disebutin semua. Iya aku tau kok porsi makan kamu."
" Hehe."
Rintik rintik kecil hujan mulai turun dan sedikit sedikit membasahi jalanan. Kami pindah agak ke dalam walau nyatanya hanya pindah ke meja depan. Aku masih mengamati setiap rintik hujan yang jatuh.

" Menurut kamu kenangan terindah itu apa?" Tanya Merry tiba tiba.
" Maksudnya lagunya samsons? Haha."
" Serius."
" Mungkin... kenangan terindah itu, kenangan yang... bisa bikin kamu tersenyum dalam keadaan apapun ketika mengingatnya."
" Contohnya...?"
" Coontohnya, ketika hujan turun deras dan aku menari di bawahnya kuharap seseorang akan datang menghampiriku dan ikut menari di bawahnya." Pandanganku beralih pada punggung abu abu yang memegang sebuah gitar akustik. Sayup sayup aku mendengarnya bernyanyi~ Thinking out Loud
Aku menyentuh pinggiran gelas berisi jus di depanku yang baru datang beberapa waktu yang lalu. Aku mengingat lewat tekstur, suhu, suara dan bau. Indraku mungkin peka tapi hatiku? Jangan tanya.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang