True Story

12 1 0
                                    

-Rai

Aku duduk diam di ruangan serba putih dengan bau yang sekarang aku benci. Seorang berjas putih sedang menerangkan sesuatu padaku ketika pusing yang teramat menyerang kepalaku. Akhirnya tubuhku runtuh dan jatuh dari kursi.

Disinari lampu aku terbangun. Aku di kelilingi orang-orang berbaju hijau. Lalu gelap.

Seseorang berjas putih berdiri berhadapan denganku sementara seseorang berbaju hijau mengarahkan senter ke mataku.

"Kami melakukan operasi darurat padamu Rai. Entah datangnya darimana tapi tiba-tiba terjadi pendarahan di dekat tumormu." Katannya.

"Sambil mengurangi tekanan akibat pendarahan, dokter Elang melakukan biopsi pada tumormu."

"Hehe, berapa lama lagi?" Tanyaku menantang.

"Rai, ini bukan saatnya bercanda. Kalau bukan karena kamu benar-benar mau premier waktu itu pasti teman-teman kamu percaya kamu punya tumor." Bentak dokter yang tadi mengarahkan senter ke mataku.

"Hey dok, cool your ass down." Ledekku sambil mengubah posisi menjadi duduk.

"Dengar, oke. Sekarang waktunya serius, saat ini aku berbicara bukan sebagai asisten dokter Elang saat operasimu, aku sekarang berbicara sebagai temanmu sejak masih bayi." Lagi-lagi pria di depanku meninggikan suaranya.

"Oke Laksamana, aku mengapresiasi masalah kau mengungkit 'temanmu sejak masih bayi'. Kamu bahkan baru muncul sekarang, ke mana kamu selama ini? Kenapa kamu harus muncul di saat-saat terakhir hidup aku Laks, bukannya dari dulu ada di sampingku. Ada untuk mendengarkan semua keresahan aku. Kamu ke mana aja selama ini?" Pada akhirnya aku balas membentaknya.

"Laks, I really am sorry, aku gak maksud ngomong gitu ke kamu. Aku udah cape, mulai dari kakak pertamaku yang tiba-tiba muncul terus hilang gitu aja, Bayu kecelakaan, tugas kantor, shooting film, ini dan itu, sakit kepala dari setahun lalu yang kadang bisa bikin aku pingsan yang ternyata itu tumor, hah. Semuanya aku hadepin sendiri, aku gak bisa percaya sama sembarang orang sejak kamu hilang, entah ke mana dan kenapa. Aku butuh LSD, atau setidaknya berikan aku xanax, itu cukup untuk meredam semua ini." Lanjutku.

"It's about 3 months left, could be less and impossible to give you more. Sudah tidak cara lain untuk memperpanjang sisa waktu itu, please make it count. Setidaknya dengan melihat kamu bahagia aku bisa menebus rasa bersalahku karena tiba-tiba pergi dari masa kecil kamu."

"Tiga bulan itu lebih dari cukup. Aku bahkan hanya berharap setidaknya aku punya satu hari untuk membuat semua orang tertawa." Balasku.

"Sejujurnya bukan seperti ini aku membayangkan masa depan sewaktu kecil. Dulu aku berangan akan menghabiskan waktu bersenang senang sama kamu, selamanya jadi anak kecil." Laksamana duduk bersamaku di atas dipan, ia menarik tubuhku ke pelukannya.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang