Karma itu Ada

47 2 2
                                    

-Ninda

Seingatku mamih tadi berjanji akan pulang pukul sembilan, tapi belum ada tanda-tanda ia akan pulang segera. Aku masih, ya, benar, di rumah Adit dan sekarang pukul setengah dua pagi. Sedari tadi aku tidak bisa tidur, ngantuk, cuma aku terus berusaha agar tidak tertidur. Tangan kiriku pegal sekali. Tebak apa yang terjadi.

Tidak, aku tidak melakukan 'itu'. Adit tertidur sedari tadi dengan memeluk tangan kiriku. Satu jam berlalu semenjak aku mulai men-spam ruang obrolan dengan Merry, ia belum juga membalas. Telepon tidak juga diangkatnya. Rai? Boleh dicoba.

" Hey, tante girang." Sapaku
" Woy, kampret lu mentang mentang mau kawin minggu depan."
" Ampun tante, hahaha."
" Sialan lo, ga suka kali gue sama om-om."
" Yakiiin? Kalau dulu."
" Sumpah lo parah banget yaa. Btw, ngapain nelepon pagi buta gini?"
" Kaga bisa tidur, lah situ sendiri belum tidur."
" Gue mah kan lembur, cuk. Tumben tumbenan ga bisa tidur, lagi di mana memang?"
" Ee- umm. Lagi di... rumah Adit."
" Ooh... APAAA?! Seriusan lo?"
" Berisik amat sih."
" Abis ena-ena yaa, hahaha." Ia tergelak begitu keras, seakan akan gelombang suaranya ingin menendang gendang telingaku sampai sobek.
" Woy, tante girang, kapan berhenti ketawanya?"
" Jir lah, masih manggil tante girang, mentang mentang ngeduluin gue. Tapi benerkan abis 'ehem'."
" Si gelo ih, engga dibilangin juga."
" Engga apa? Enggak salahkan? Hahaha."
" Cuuk, ini gue serius, tutup aja ya teleponnya."
" Hahaha, iyaa iya, masa sih? Yakin belum disentuh sedikitpun? Hahaha, dicium gitu?"
Pertanyaanya yang terakhir membuatku terdiam agak lama. Mengingatkanku dengan bibirku yang masih berdenyut
" Cuuuk? Hoi coeg lo masih di situ, lanjut lagi nanti ya ada yang butuh RJP." Ia berkata dengan nada tergesa.

Hahaha, dicium gitu?
Si gila itu selalu seakan-akan menebak apa yang terjadi. Aah, ini mah bisa ikut-ikutan gila juga.

Ia menatapku dengan penuh perasaan, entah apa yang ada dipikirannya. Wajahnya mendekat, sebelah tangannya sudah merangkulku yang lengah. Bibirnya. Ya ampun, bunuh aku sekarang. CPU di kepalaku sepertinya sedang berhenti bekerja aku tak bisa berpikur, overheated? Tubuhku tak bisa kugerakan, computer froze. Agak kering dan... hangat. Benda itu menempel di bibirku. Windows does not responding. Wait or close program. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Aaah, aku gila. Ia tampak menikmati ini sementara aku panik dengan diriku. Bibirnya, aaah tolong, terlalu... sudahlah.

Aku bergidig ngeri, liat sekarang siapa yang jadi tante girang. Ah ya ampun, ini masih pagi buta dan aku sudah memikirkan hal seperti itu. Gara-gara Rai, coba saja ia tidak memancing, padahal tadi aku sudah hampir berhasil melupakan ini. Eh, tadi itu Rai atau Dita suara mereka kok mirip? Persetanlah. Karma does exist, Rai.

***

- Rai
" Hahaha, iyaa iya, masa sih? Yakin belum disentuh sedikitpun? Hahaha, dicium gitu?" Godaku di telepon. Tapi ia tidak merespon.

Brak!
" Woy itu nyelo dong, masih subuh." Komentarku. Ninda masih belum merespon, tebakanku dia mati kutu karena pertanyaanku.

" Rai, gue butuh RJP." Erang seseorang. Plis, ga ada orang yang butuh RJP terus mohon mohon, tapi karena ngantuk dan tidak fokus akhirnya aku beranjak ke arah keributan itu.
" Cuuuk? Hoi coeg lo masih di situ, lanjut lagi nanti ya ada yang butuh RJP." Aku yang setengah kaget melihat sebuah tubuh terkapar di lantai kantor segera memutus telepon dengan Ninda.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang