What if ...? #2

153 7 1
                                    

- Rai
Sore ini aku kembali ke rumah kosku. Kembali berkutat dengan setumpuk buku dan laptopku. Mengerjakan bab 3. Sudah hampir satu jam jariku menari nari di atas keyboard.
Lama lama tanganku mulai enggan lagi menari nari di atas keyboard.

Rai : baaang boseeen
Gentong : truss?
Rai : beliin jus stroberi y
Gentong : jusMu
Gentong : beli sorangan ditu
Rai : aah, lo ngeselin andai
Gentong : aish

***
-Ninda
"Gimana makan siangnya?" Ia mengulangi pertanyaanya lagi.
" Eh um, makasih ya." Sahutku.
" Makasih udah bantu ya." Katanya lagi.
" Iya, sama sama." Aku berlalu meninggalkanya. Mataku agak perih, mungkin kering. Cahaya matahari serasa membuat mataku akan meleleh dibuatnya. Mungkin aku akan menghabiskan siang ini berjalan di luar lalu kembali ke sana saat senja menjemput.
Keluar dari lab rasanya seperti kembali menyapa dunia. Lingkungan kampusku setidaknya dapat menyegarkan pikiranku lagi.

Tak terasa memang waktu berlalu. Senja akhirnya menjemput lagi. Oranye dan lembayung menghias langit, burung burung gejera beterbangan oh bukan, merpati ternyata.
Pintu berderit lalu terkuak, seingatku lampunya belum aku nyalakan dari pagi tadi.
" Dari mana aja?" Tanyanya, iya, tanya ia yang duduk di tempatku tadi. Ia tak berbalik ataupun bergerak mendekat.
"  Umm dari luar." Jawabku singkat.
" Ooh, pulang aja gih. Ini biar Adit yang selesein." Tawarannya bagaikan panggilan surgawi, aku harus mengiyakan sebelum ia berubah pikiran lagi.
" Seriusan?"
" Iyaa, gue udah ngerepotin banget. Mending sana pulang terus istirahat."
" Um, oke. Gue cabut ya." Aku mendekati mejanya, mengambil tasku dan segera meninggalkannya.

Langit senja masih cerah ceria. Ku tinggalkan kampus tercinta dengan naik angkot.
Berdesak desakan di dalam angkot bukan hal langka buat kami mahasiswa, waktu senja kebanyakan angkot pasti penuh. Untuk mengambil handphone tanganku harus rela terjepit oleh paha penumpang lain, risih.

Rai : kata Adit hati hati
Ninda: sipp
Rai : kalau udh nyampe kasih tau Adit.;)

Si kampret, iya dua duanya si kampret. Ngapain lagi mesti lewat si Rai, dasar.

***
- Merry
Senja? Hmm... inilah hal yang paling aku sukai. Kenapa? Karena senja selalu membawakan kejutan demi kejutan setiap harinya.
Baru saja aku berdiri di sisi jalan untuk menunggu angkutan umum, sebuah angkutan umum yang kucari muncul. Sial tapi, malah penuh. Sore ini jalan cukup lengang, dibanding kendaraan bermotor lebih banyak mahasiswa yang berjalan kaki. Gemerisik daun dan semilir angin menemaniku menunggu angkot selanjutnya.
Tiiit!
Klakson motor memekakan telingaku. Ia berhenti di depanku.
" Masih mau nunggu angkot?" Tanya sang pengemudi.
" Eh? Hm.. iya." Aku menjawab ragu.
" Bareng aja yuk." Ia menawarkanku tumpangan.
" Ga usah, gak buru buru kok. Hehe." Aku benci suasana canggung seperti ini.
" Oh ya udah, kalau ga buru buru ikut aku aja. Kita jalan jalan dulu bentar, hehe." Ahh, menyebalkan. Mau apalagi kau huh?
" Eeeh?" Masing canggung, masih ragu.
" Ayo! Kamu pasti kangen tempat ini."
" Hah?" Dia semakin membingungkan.
" Udah, naik aja." Ia menyodorkanku sebuah helm hitam. Ragu ragu aku terima helmnya, lalu naik.
Tama menyalakan lagi mesin moyornya. Ia membawaku turun ke persimpangan dago yang ramai, menyusuri jalan di bawah jalan layang pasopati lalu ke surapati, melewati Masjid Pusdai, Imigrasi, lalu ke PH Mustofa kemudian berbelok ke kiri  dan menanjak ke padasuka. Aku tau ke mana tujuannya, yang pasti bukan rumahnya.
Ada sedikit rasa senang tapi juga dilema. Entah mengapa aku merasa dilema, tapi yang pasti aku senang karena akhirnya aku kembali lagi ke sini.
Tama memarkirkan motornya. Tiupan angin menggesekan setiap batang bambu di sini sehingga menghasilkan kegaduhan yang mistis. Aku berjalan mengiringinya. Tak satupun dari kami membuka mulut, tak satu katapun terucap dari kami, kesamaan kami yaitu kami sama sama bungkam. Sesosok berjaket muncul jauh di depan kami. Walau jauh aku masih bisa mengenalinya dari caranya berjalan.
" A Pidiiiii!" Aku berseru. Sudahlah aku tak bersua denganya, dipikir pikir kangen juga hihihi. Kami berpelukan sebentar.
" Eeh, Merry. Apa kabar?"
" Alhamdulillah sehat. Sehat A?"
" Sehaat."
" Udah lama ih, A, ga ketemu."
" Ah, masa?"
" Eeh. Main atuh kali kali ke taman sari."
" Haha, iya kapan kapan, ah."
" Auditorium kosong?" Tanya Tama.
" Kosong kalau mau dipake mah. Mau ngapain gitu? Hehe." jawab Pidi
" Nanya doang."
" Duluan atuh ya. Hati hati." Seru Pidi.
" Iya, A. Hati hati di jalan."
Ia mengacungkan jempolnya dan meninggalkanku dengan Tama. Ngomongin Tama, dia udah jalan di depan sendirian, tanganya ia selipkan di balik saku celana. Aku menyusulnya. Tempat ini banyak berubah, tapi, rasa yang ada masih sama, kenangan yang tertinggal pun masih ada dan sama, utuh. Tak tergores sedikitpun. Sempurna.
Warna oranye sedikit sedikit mengintip dari balik pepohonan bambu.
Tama memanduku masuk ke auditorium. Disuruhnya aku duduk, maka aku menurut saja. Ia berjalan ke panggung dan memainkan sound system lalu berdiri dibalik alat musik favoritnya.
Ada ruang hatiku yang kau temukan
Sempat aku lupakan kini kau sentuh
Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati...

Gemerisik bambu lamat lamat berubah. Aku melirik keluar, gerimis ternyata. Tama. Kalau hujan bolehkan aku berteduh sebentar di hatimu? Setidaknya sebentar sampai mereda? Tak apa kan? Hoi, kurasa tak bisa kubendung lagi perasaan ini. Mungkin akan banjir nanti.

Kuterpikat pada tuturmu, aku tersihir dirimu
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu kuterinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu
Tapi bolehkah ku selalu di dekat mu?...

Ia berhenti bernyanyi, ia bangkit dan berjalan mendekatiku. Lalu ia mengulurkan tangannya, refleks aku meraihnya. Entah apa yang aku pikirkan sampai menerima uluran tangannya. Di luar gerimis masih turun. Kami berjalan dibawah rintik rintik air. Titik titik air hinggap di rambutnya dan mulai membuatnya basah. Tangannya membuatku menghangat. Ia membawaku berkeliling sebentar, lalu berhenti di sebuah saung dan berteduh.
Hujan di saat senja selalu membuatku senang. Bulir bulir hujan hinggap di lensa kacamataku, ia beradu dengan suhu hangat tubuhku sehingga ia malah meninggalkan embun.
Aku meliriknya sebentar, ia tersenyum tipis tapi kutahu itu tulus. Bajunya setengah basah, rambutnya tidak lagi mengembang karena basah oleh hujan. Tangannya masih menggenggam tanganku. Tidak satupun dari kami mau melepasnya, enggan terpisah bukan berpisah. Lembayung melebur dengan kelabu. Gerimis terus merapat. Tama melepas jaketnya lalu terdiam sejenak. Ia kembali menautkan tangannya dengan tanganku. Matanya menatap jauh ke langit. Tanpa berbicara ia menyampirkan jaketnya padaku dengan satu tangan.
Kukira, aku hanya akan merasakanya lewat tulisan. Tapi ia membuatku merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Dibalik itu partikel partikel cinta yang jumlahnya miliaran itu bertebaran dihadapan kami, walau miliaran ia tak kasat mata.
Tama, seandainya dirimu hujan, aku rela kebasahan untuk menemanimu terjatuh. Aku rela kedinginan asal kamu tidak sendirian.

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang