Curhat Rai

62 4 0
                                    

- Rai
Aku beberapakali mengetuk ngetuk meja kubikel, menatap kosong ke arah ratusan file di monitor. Sudah hampir tiga bulan.

" Udah kali istirahat dulu kaga usah dipikirin." Tegur Haris yang lewat membawa segelas lemon tea, mungkin ia khawatir melihatku gelisah.
" Ho oh, udah kali biarin aja, gak usah dibawa serius ini kan cuma tugas biasa." Andre melempar bola kertas dari jauh.
Aku membukanya, entahlah hanya ingin membuka gumpalan kertas itu.

Intuisimu itu sebuah pemberian. Entah itu sebuah berkat atau kutukan, tergantung caramu memakainya.

Zed!
Mungkin intuisiku tidak spesifik, tapi itulah maksudnya. Agar aku berhati hati menentukan langkah.
Semuanya tampak berbelit belit awalnya, tapi ternyata itu! Manusia melakukan kebohongan untuk sebuah alasan. Mungkin sampai saat ini apa yang aku harapkan jauh dari realita, tapi seenggaknya masalahnya selesai. Soal tantangan dari kang wahyu, aku belum menemukan kasus. Kepolisian ternyata bersih, aku harus mengatur ulang target.
Soal Bayu, sidangnya dimulai minggu depan. Akhirnya keluarga membuka mulut soal ini, ibundanya setuju untuk melakukan penyelidikan. Mereka bukannya tidak tahu, justru mereka tidak ingin ada yang tau. Network Bayu sangat luas, inilah yang jadi masalahnya.

Aku mulai menyusun artikel soal Bayu, mungkin bisa aku publish suatu waktu. Media lain mulai meliriknya, kasus ini dibuka untuk umum. Kuharap seseorang itu ikut meliriknya.

" Sst, sst, Rai."
" Huh paan?"
" Liat dulu sini." Pintanya.
" Liat paan sih."
" Plisss, liat dulu."
" Apaaa Indraaaaaaa?" Aku memutar kursi menghadap dirinya.
" Buketnya bagus yang mana?" Tanyanya dengan mata berbinar binar sambil menunjukkan dua buket bunga.
" Buat siapa sih? Buat Merry?" Aku kembali mengetik.
" I-iya, hehehe."
" Yang merah ama putih." Jawabku malas.
" Ho oh. Tumben amat sih bawa bawa bunga, mau ngapain sih?"
" Pengen aja, hehehe."
" Eh, eh, ada sisir?" Tanyanya lagi.
" Ada, mau sama cermin sekalian? Atau pomade juga? Ada tuh minta sama Andre."
" Hehe, sisir aja."
Aku membuka laci cukup keras, sehingga barang barang di dalamnya ikut terhempas, sebuah frame foto kecil ikut terhempas bersamaan sisir hitamku.
" Nih, sisirnya." Aku memberikan sisirku padanya sambil memungut foto tadi.
" Tengs, ya." Ia menyisir rambutnya, sedikit sedikit ia bergeser ke arah monitorku yang menampilkan screen saver hitam.
" Kalau perlu kaca bilang aja kali, kaga usah gengsi. Btw, tumben lu wangi. Biasanya tiap gue samperin di kantor kucel deh."
" Hehehe. Iya dong, harus ada peningkatan."
" Eh, kata Haris kasus lo udah ada progress. Selamet yaa." Sambungnya.
" Makasih. Ini juga kan lo ikut bantuin, kalau gak ada orang dalem kaya lo susah gue."
" Eh, gue cabut dulu yaa. Makasih sisirnya." Ia menaruh sisirku dan melirik jamnya. " Ini yang putih kalau lo mau bawa aja."
" Makasih yaa, bunganya hehe."
" Eh. Eh. Itu siapa btw?" Tanyanya lagi menunjuk foto yang sedaritadi kugenggam.
" Kakak gue, namanya Rendi."
" Oooh."
" Ih, katanya mau pergi udah sana." Aku mendorongnya menjauh. Ia berjalan pergi. Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Laporan laporan sudah aku selesaikan dan aku simpan ke dalam database pusat.

" Ndre, gue balik dulu yaa. Kalau ketemu kang Wahyu tolong bilangin, artikel semuanya udah gue upload ke cloud. Lo masih ada kerjaan?"
" Iyaaa, nanti gue sampein. Ini lagi ngecek, foto dari anak anak baru."
" Ooh, mau gue bantuin ga?"
" Ga usah, tengkyu. Pulang aja."
" Ya udah yaa, duluan. Mangat."

Aku membereskan barang barangku, memasukkannya ke dalam tas. Foto tadi aku masukkan ke dalam saku.

Buket bunga yang Indra berikan berukuran lumayan besar.

Aku berdiri di depan lift, menunggunya naik ke lantai sepuluh. Beberapa repoter yang lewat sesekali bersiul atau berkelakar 'cieee ada yang baru anniv nih kayanya' 'pajaknya mana pajak'

Pintu lift terbuka. Seorang pria dengan kaos putih bergaris keluar dari lift. Ia mengeluarkan smartphonenya dari parka army nya.

" Mba, Mba." Ia mencegatku.
" Yaa, Mas?"
" Studio di mana ya?"
" Ooh, studio? Dari sini belok kanan, nanti ada pantry belok kiri."
" Makasih ya."
" Ya."

What if...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang