(26) Move On

198 23 0
                                    

Author POV

"Kamu makan dulu. Ntar aja lanjutin belajarnya."
Namun, Jessa tidak menghiraukan perhatian dari kekasihnya yang tak henti-henti meliriknya.

"Caca, kamu denger gak?!" Nada suaranya mulai meninggi. Membuat Jessa tersentak lalu mendongak.

"Maaf, kamu tadi ngomong apa?" Tanya Jessa dengan polos. Sedari tadi dia memang sibuk mengurusi kertas yang penuh corat-coret. Pusing 7 keliling mungkin.

"Kamu harus perhatiin kesehatan kamu juga. Percuma belajar tapi tenaga kamu gak ada. Please, dengerin aku babe." Dari sorot matanya jelas menunjukkan kekhawatiran.

"Iya aku minta maaf ya. Aku masih belum selesaiin satu soal lagi. Kalau aku gak bisa, gimana mau ikutin UN nanti? Guru-guru bilang itu pasti keluar di soal UN." Jawab Jessa yang tak kalah khawatir.

"Oke sayang. Aku ngerti. Makan dulu gih. Aku perhatian masa' kamu sia-siain." Leo membuang wajahnya.

Jessa menutup buku matematikanya dan merobek kertas yang penuh coretan tadi.

Kertas udah penuh gini, tapi jawaban dari nomor 4 gak dapet juga.

"Kamu makan juga ya? Aku buatin sup deh." Jessa mencubit pipi Leo yang membuat dia meringis.

"Ini nih calon istri idaman." Jessa terkekeh mendengar pujian lebay dari Leo, kemudian berlalu menuju dapur. Karena Bi Sum lagi belanja di pasar dan kedua orang tuanya masih sibuk bekerja walaupun ini adalah hari minggu.

***

Jessa POV

Bertahun-tahun Stefe pergi. Mustahil untuk dia kembali. Menemani, menghibur, mengejek. Semuanya masih berbekas di pikiran gue. Terlalu indah sampai gue gak bisa lupain dia. Makin gue coba, makin gue gak bisa.

Sekalipun kini ada penghuni baru di hati gue. Orang yang berusaha menjadi terbaik buat gue. Tapi tetep aja, bayang-bayang Stefe masih menghantui. Gue gak tau kenapa, seolah ada alasan yang membuat dia selalu muncul di tidur gue. Mimpi yang sering gue alami semenjak gue pacaran sama Leo.

"Jadi kamu udah bisa move on dari aku?" Cowok berpakaian serba putih itu hanya berjarak satu meter dari gue.

"Apaan sih? Walaupun kamu udah gak ada, tapi tetep aja kamu hidup di hati aku." Gue gak berpakaian sama dengannya, gue pakai piyama.

"Kamu ni masih aja gombalin aku." Stefe terkekeh. Bikin dia makin ganteng kalau begitu.

"Gak gombal kok. Itu fakta, Stefe." Gue merajuk.

"Apa kamu bahagia sama dia?" Gue terkejut setelah Stefe melontarkan pertanyaan itu. Rasa nyeri di dada kini muncul.

"Kamu kok nanya begitu?"

"Kalau kamu bahagia ya aku pasti ikut bahagia. Tapi, kalau enggak, berarti aku gak akan setuju juga. Jawabannya cuma ada pada diri kamu." Senyumnya merekah.

"Aku bingung juga mau jawab apa dari pertanyaan kamu itu. Yang jelas, dia berusaha menjadi yang terbaik buat aku. Aku bisa merasakan itu, Stefe."

"Kalau gitu bagus deh. Remember, I still loving you." Stefe mendekat membuat jarak kami semakin menipis. Dia mencoba mengelus rambut gue, dan kalian tau? Tangannya tidak mengenai rambut gue, justru menembus kepala gue.

Berkali-kali dia mencoba untuk menyentuh gue, tapi hasilnya nihil. Gue tersadar,dunia kita beda. Mustahil dia bisa nyentuh gue dan gue nyentuh dia. So sad.

"Aku kangen kamu, Stefe. Sini, kembali sama aku." Bulir-bulir air mata gue mulai membasahi pelupuk mata. Mungkin akan lebih dahsyat daripada banjir yang melanda Jakarta setiap tahun.

JESSALEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang