Epilog

281 13 1
                                    

Jessa POV

Gue mendengus sebal. Masih pagi handphone gue udah ribut aja. Dengan menahan segenap rasa kantuk, gue mengambilnya diatas nakas. Meskipun rasanya gue butuh waktu lebih untuk tidur, mengingat akhir-akhir ini gue masih dibebani oleh masalah.

"Halo," suara gue sedikit serak akibat kurang minum.

"Ecaaaaaaa!!! Gawat, Ca, gawat!!!" teriak seseorang di seberang. Rion ? Heh, gue tadi gak liat siapa yang nelpon.

"Gawat apaan ? Lebay banget. Gue masih ngantuk, kutu !" tentu aja gue gak terima dibangunin. Terus dia main teriak-teriak gitu ? Apa yang gawat coba ?

"Gue serius, Ca ! Ini bener-bener gawat !" Rion masih berteriak.

"To the point aja. Cepet !" suruh gue tanpa banyak ba-bi-bu.

"Leo, Ca ! Diaa..."

"Dia apa ? Ngapain lo nelpon gue kalau cuma mau bahas cowok brengsek itu ?! Lo bikin mood gue hancur pagi ini. Gue kesini mau lupain dia. Eh, lo malah nyebut-nyebut nama dia," hati gue kembali sesak. Sekalipun gak nyebut namanya, tapi mendengar aja udah sesakit ini rasanya.

"Denger dulu ! Leo.. udah pergi.." lirih Rion. Gue sama sekali gak ngerti dengan apa yang mulutnya katakan.

"Pergi kemana ? Kuliah di luar kota atau luar negeri ?"

"Bukan, kutu ! Dia.. meninggal Ca.." Rion berlirih lagi pada kalimat terakhir. Setelah sebelumnya setengah berteriak pada kalimat pertama.

Gue langsung bangkit dari posisi tidur. Gue duduk dengan keringat dingin yang mulai menampakkan diri. Dan jantung.. kalau soal itu jantung gue udah gak terkendali lagi. Really ?
"Me..meninggal apa sih ? Jangan pura-pura berakting biar gue ngerasa nyesal pindah, Yon."

"Gue gak berakting, sumpah ! Troy sama Albert nemuin Leo gantung diri di kamarnya, Ca," Rion kayak bener-bener gak bercanda sekarang. Dari nada suaranya juga terasa sedih.

"Gak mungkin. Leo bunuh diri gara-gara gue," bibir gue bergetar. Kedua mata mulai memanas diiringi bulir-bulir yang menggumpal. Kalau Rion serius kali ini, gue yakin gumpalan tersebut bakal pecah.

"Ca, lo harus terima kenyataan," Rion semakin memelankan suaranya. Bener kan, gue bilang juga apa ! Pecah deh bulir-bulir bening, pecahan kedua yang paling hebat gue alami. Pecahan pertama sewaktu Stefe pergi. Dan ini yang kedua, Leo pergi ? Ke alam Stefe ? Oh astaga, gue gak sanggup.

Tangisan berubah menjadi histeris dan kencang. Gue gak peduli Jake bakal kebangun gara-gara gue. Gue gak memikirkan apapun selain maksud dari Rion nelpon mengganggu waktu tidur gue. Rasa kantuk gue hilang, lalu perasaan kehilangan menyeruak. Kalau kehilangan Leo yang pergi kuliah di luar kota atau di luar negeri masih mending, seperti tuduhan gue tadi. Tapi, fakta berkata lain. Leo nyusul Stefe. Leo ninggalin gue. Atau ini semua salah gue karena ninggalin dia ? Karena gue pindah ke Jerman tanpa kasih kabar ke dia ? Tetapi, apa peduli gue ? Bukankah kesalahan yang dilakukan Leo yang bikin gue memilih buat pindah ? Walaupun itu bukan satu-satunya alasan.

"Ca.. Ca.." panggilan Rion gak gue sahut. Badan gue memelas dan handphone jatuh dari genggaman. Gue gak bisa mungut tuh handphone lagi. Itu gak penting. Yang penting sekarang gue pengen pulang.
"Jakeee!!! Jakeee!!!" gue mengetuk keras pintu kamarnya dengan rasa panik yang melanda.

"Apaan ? Ngapain teriak gitu ?" terdengar Jake membalas dari dalam. Sepertinya tangisan gue tadi gak membuat tidurnya terganggu. Dia pasti lagi bergelung di dalam selimut.

Setelah gue menggerakkan kenop, hasilnya pintu ini terkunci. "Jake! Buka dong, Jake," gue menggedor-gedor pintu sekuat tenaga. Jake masih enggan buat ngebuka. Seketika gue memelas dan terduduk di lantai. Tangisan semakin parah.

JESSALEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang