(29) Leo's Mistake

178 25 0
                                    

Leo POV

Sulit banget ngebujuk dia lagi. Seolah gue ini kayak cowok yang selingkuh di belakang dia. Come on, semuanya terjadi kesalahpahaman. Tapi sisi hati gue ada yang bilang kalau gue juga salah. Gak seharusnya gue meluk Priska. Gue cuma ikut prihatin sama nasib dia. Gak bermaksud macem-macem, apalagi buat nyakitin Caca.

Bayangin aja, lo lagi di posisi gue. Denger curhatannya, apalagi dengan air mata yang turun deras dari kedua pelupuk mata. Gue gak tegaan kalau ada cewek nangis tepat di depan gue. Gue ngerasain air matanya asli, bukan dibuat-buat untuk menarik perhatian gue.

"Bro, gue cabut ya." Geo menepuk bahu gue. Gue heran, malam ini dia gak ngegandeng siapapun. Biasanya, dia terkenal sebagai cowok yang anti jomblo. Sekarang, predikat itu bisa aja terlepas darinya.

Gue mengulum senyum dan memeluknya ala-ala cowok. "Oke, makasih udah mau dateng."

"Seharusnya Albert yang bilang itu ke gue." Kekehnya.
Gue hafal betul sama Georgio Cassinock. Teman sekelas Albert yang kebetulan juga gue lumayan akrab sama dia.

"Dia lagi di dalem tuh. Ceweknya yang dari Bandung lagi ngasih kejutan." Gue mengerling.

"Wah, sayang banget gue harus cabut duluan. Nyokap gue lagi gak ada yang nemenin." Satu hal yang gue kagumi pada sosok seorang Geo. Dia sayang banget sama nyokapnya. Dengan penyakit leukimia yang di derita sehingga beliau di rawat di rumah sakit, sangat membuat Geo terpukul. Gue ikut mendoakan yang terbaik buat nyokapnya.

"Gak masalah kok. Nyokap lo jauh lebih penting daripada apapun di dunia ini. Jangan mikirin si Albert curut."

"Haha. Oke bye, bro." Kami berhigh-five. Perlahan tubuh Geo menjauhi gue dengan kedua kaki yang membawanya pergi.

Baru mau berbalik untuk masuk, Priska menyapa gue. "Hei, Leo." Dengan mengumbar senyumnya yang cukup manis.

"Hei. Lo kok belum pulang? Yang lain udah duluan tuh." Gue melirik sekeliling penjuru pekarangan rumah Albert, hasilnya nihil. Di luar cuma ada gue dan Priska. Cepet banget makhluk-makhluk itu balik ke asalnya.

"Gue nunggu dijemput." Terlihat senyum pahit darinya.

"Siapa yang jemput?" Gue keheranan. Tumben, dia gak bawa mobilnya. Dia mana suka dijemput-jemput begituan.

"Sanders." Jawabnya singkat.

Gue mencoba mengingat-ingat sesuatu. Rasanya gak asing lagi. "Preeven Lyam Sanders?"
Priska mengangguk berat.

"Dia pacar lo?" Oke, gue mulai kepo.

"Lebih tepatnya tunangan gue." Matanya mulai menyendu. Menyorotkan kepedihan mendalam yang begitu mencekam setiap apa yang dilihatnya. Cara tersirat untuk menyembunyikan perasaannya.

"Bagaimana bisa? Dia playboy, Pris. Setiap malam berganti-ganti cewek yang dibawanya. Keluarganya kayak gak mau tau sama dia, sama kelakuan dia. Bokapnya juga seorang direktur yang korupsi." Gue gak nyangka dia udah tunangan aja sama buaya sejenis Sanders.

"Lo bener. Bokap dia licik, ngejebak bokap gue sebagai tersangka korupsi. Dia haus kekuasaan. Akibatnya, bokap gue dipecat." Gemuruh amarah bergejolak di dadanya. Matanya berapi-api. Gue yakin sebentar lagi hujan turun memadamkan api itu. "Sanders menginginkan gue. Dia pengen milikin gue. Lagi-lagi bokapnya dateng kerumah gue. Kami sekeluarga udah bangkrut waktu itu. Gue nangis sambil ngemasin barang-barang." Gue setia mendengar curahan hatinya, hati gue terasa teriris. Tapi belum satu pun gue mencoba menenangkannya.

"Bokapnya punya syarat ke bokap gue. Dengan gue sebagai alat transaksi, bokap Sanders bisa menperkerjakan bokap gue kembali. Dan..." Ucapannya terhenti. Dia membekap mulutnya supaya tangisannya gak terdengar selain dari kuping gue dan kuping dia.

JESSALEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang