(31) Break

172 25 0
                                    

Jessa POV

"Syukurlah kamu udah sadar." Wanita itu membelai rambut gue dengan lembutnya. Gue gak nyangka wanita seperti dia punya anak seorang pembunuh, yang kejahatannya mampu disembunyikan serapat mungkin.

"Ca, minum dulu." Troy menyuguhkan segelas air putih kearah gue. Dia tersenyum penuh kekhawatiran.

"Enggak usah. Gue gak papa." Tolak gue secara halus. Selanjutnya, gue memposisikan bantal supaya bisa bersandar disitu.

Mom-nya Leo mengelus pipi gue. "Minum dulu. Kamu kok bisa pingsan sayang? Kamu sakit atau belum makan?" Rasanya gak tega gue buka kebohongan Leo didepan nyokapnya yang lembut dan ramah ini. Gak tega dia terluka, jatuh pingsan, atau stroke. Ah, lebay gue.

"Gak papa kok tante. Kecapean aja mungkin." Gue mengelus tangannya yang di pipi gue tadi. "Sekarang jam berapa tante?"
Tanya gue, karena gorden di kamar ini udah ditutup. Sinar matahari juga gak keliatan lagi. Dan gue seratus persen yakin ini adalah kamar Leo. Terbukti dengan posisi perabotan dan nuansanya yang belum berubah. Cuma sprai tempat tidur aja yang udah diganti. Uggh, cowok itu lagi!

"Jam 7 sayang. Kamu istirahat aja dulu ya. Mom bakal kabarin mom kamu." Ucapnya dengan menyunggingkan senyum. Dia melangkah anggun menuju pintu.
Gue tersenyum membalasnya. Mom pasti khawatir gue sampai pingsan begini. Tenang aja, sesampainya dirumah gue bakal ceritain semuanya.

"Ca." Leo melangkah maju dan memilih duduk di hadapan gue setelah kepergian mom-nya. Albert juga duduk disamping kiri Leo. Sedangkan Troy berdiri dengan cool-nya. Yeah, cool.

"Jelasin semuanya, Leo!" Gue membentak dengan tidak terlalu keras. Suara gue melemah setelah sadar tadi.

"Oke. Aku bakal ceritain setiap detailnya. Aku memang iri sama Stefe. Menjadi kapten basket adalah impian aku sejak kecil. Aku gak mau nyerah sebelum berhasil dapatin jabatan itu. Lalu niat jahat terlintas dipikiranku." Dia berhenti sejenak.

"Lo udah tau kan itu tindakan yang jahat, tapi malah lo kerjain juga." Gue berdecak sambil memandangnya penuh kebencian.

"Iya aku salah. Aku membuntutinya setelah pulang latihan basket. Aku cuma berniat untuk nge-bully dia, bukan untuk membunuh. Kamu bisa bayangkan waktu itu aku mensejajarkan mobilku sama mobil dia di jalan sepi penuh pepohonan. Aku hanya ingin dia memberhentikan mobilnya. Tapi dia gak mau kalah, dia mengatur kelajuannya agar tidak tertinggal di belakang.

"Karena geram, aku menepikan mobilku padanya. Semakin menepi, hingga mobil Stefe keluar dari batas yang seharusnya. Mobilnya terjatuh ke jurang, tidak terlalu dalam. Aku gak tau gimana keadaannya, aku takut ada saksi mata makanya aku tinggalin dia. Aku.. aku pergi gitu aja." Jelas Leo dengan raut yang gak bisa gue pahami.

Gue mendengus dan semakin membencinya. "Lo gak bertanggung jawab! Lo biarin dia gitu aja padahal lo yang bikin dia sampai jatuh ke jurang! Jurang kematiannya!" Gue menekankan kalimat terakhir dengan pahitnya. "Seharusnya sekarang lo di penjara! Seharusnya kita gak pernah ketemu! Lo gak akan duduk dihadapan gue kalau lo dikurung dalam tempat yang sangat pantas untuk lo!" Gue bergemuruh dengan linangan air mata.

"Jangan gitu dong, Ca. Lo kan sayang sama Leo. Lo pengen dia terus ada disisi lo." Bujuk Troy. Tumben nih anak gak berisik mulutnya. Baguslah kalau dia tau situasi.

"Sayang apaan?! Setelah apa yang dia perbuat dengan dosanya itu?! Cuih!!! Kita putus, Leo!" Gue tersenyum padanya dengan miris. Sangat miris kisah percintaan gue. Air mata gue mengalir hebat seiring keluarnya kata perpisahan.

"Kamu mau mutusin aku? Kamu gak mau maafin aku?" Leo terkejut dengan sangat, dia menggenggam kedua tangan gue. Bisa gue rasakan tangannya kedinginan, dan gue liat mata Leo basah.

JESSALEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang