(33) She's Going

289 33 4
                                    

Author POV

Jessa mempersiapkan koper hitamnya yang kemudian membongkar-bongkar isi dari lemari. Satu per satu baju termasuk t-shirt, dress, jaket, bahkan sweater terlempar ke atas kasurnya. Tak terlupa celana jeans, hotpants, dan celana bermotif robek disana-sini.

Jerman menjadi tujuan utamanya. Mungkin selama beberapa tahun ke depan. Sebenarnya ia ingin sampai mati saja disitu, tapi Jessa tidak boleh egois. Disini masih ada kedua orang tua yang sulit merelakan kepergiannya. Jadi, sesering dan sebisa mungkin Jessa harus berkunjung kerumah ini sekedar melepas rindu.

Sedangkan menyangkut UN, telah diselesaikannya dengan nilai terbaik. Padahal jika dipikir-pikir situasi hatinya sangat berdampak pada kelulusan. Bukan Jessa namanya kalau membiarkan dirinya gagal hanya karena seorang pembunuh. Jessa telah mencoba bangkit dengan raba-raba Stefe dihatinya. Dia harus bahagia agar Stefe tidak mengkhawatirkan nasib malang yang menimpa gadis beranjak dewasa.

Stefe adalah separuh nyawanya..
Stefe adalah cinta pertamanya..

Seolah kebahagiaan dan impiannya terenggut akibat salah seorang yang tidak menyukai adanya Stefe. Di sela-sela tangis sesenggukan yang menjadi makanannya setiap hari, Jessa merasa Stefe memeluknya. Stefe berada disekitarnya kemanapun kakinya melangkah, kemanapun matanya mengarah. Bahkan ketika tidur ia merasa Stefe ada disampingnya. Membelai helai demi helaian rambutnya. Jessa sering terisak jika mengingat cowok itu lagi.

Cowok yang paling sempurna dan selamanya akan begitu. Cowok yang tidak pernah egois yaitu lebih mengutamakannya daripada dirinya sendiri. Cowok yang memancarkan ketulusan dan kecintaan lebih terhadapnya lewat dari sorot bola mata. Cowok yang menjaga kesetiaan dan memegang teguh itu kemanapun hatinya saat jauh dari kekasih. Cowok yang romantis dengan caranya sendiri, tidak meniru orang lain. Begitu sempurna, nyaris tidak ada yang bisa mengimbangi apalagi menyaingi. Bersyukur atas Tuhan yang melahirkan dirinya melalui perantara sesosok ibu yang baik pula. Meskipun sekarang Stefe tidak bernyawa, tidak berwujud, tapi arwahnya masih melekat.

Stefe...

"Dek, udah siap belum?" Teriak Jake dibalik pintu.
Jessa menghentakkan kaki yang berganti dengan menuju pintu. Membukanya dan memaki Jake barangkali. Atau keduanya dijamin betul?

"Bisa gak sih kalau ngomong gak teriak gitu? Kayak cewek aja lo!" Hardik adiknya Jake. Ekspresi sebal dan menggeram terlihat diwajah cantiknya. Setidaknya lebih bersinar dibandingkan hari-hari galaunya waktu itu.

"Buruan dong! Gue gak mau ketinggalan pesawat gara-gara lo lama banget. Dasar cewek!!! Semua serba lelet!" Jake tak mau kalah menghardik.

"Iya, iya bawel. Gue udah siap kok. Tinggal bawa kopernya aja ke mobil. Bawain dong. Selagi cuma lo cowok disini." Perintah Jessa disertai rengekan.

"Dasar cewek!! Selalu nyusahin cowok!" Omel Jake lagi. Meskipun mengomel, tetapi ia tetap masuk untuk mengambil koper itu.
Jessa tertawa kecil melihat Jake mengomel seperti itu. Abangnya yang sangat disayanginya. Berkelahi dengan Jake merupakan salah satu bukti bahwa ia menyayangi Jake.

***

Jessa POV

"Pasti Bibi bakal kangen banget sama Non Eca." Bi Sum tampak gak rela. Dengan matanya yang mengarah ke mata gue menyalurkan kepiluannya.

Gue memeluk Bi Sum seketika. "Eca juga kok, Bi. Tapi kan Eca sering-sering kesini kayak yang biasa Jake lakuin."

Satu per satu air mata sukses jatuh dengan mulus di pipi keduanya. "Iya, Non. Jaga diri baik-baik di negara orang, Non. Rajin-rajin belajarnya." Sahut wanita itu lagi.
"Iya, Bi. Pasti kok. Makasih ya buat selama ini."

JESSALEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang