Rinai Hujan 9

5.3K 327 0
                                    


Selama Rinai sakit, Rain yang menjaganya. Mulai dari menyiapkan bubur, menyuapi, hingga menemani sepanjang malam. Rain melakukan itu dengan setulus hati. Bahkan ia lebih peduli Rinai daripada kuliahnya yang sudah ia abaikan selama beberapa minggu ini. Rain terus menggenggam tangan Rinai tanpa mau melepaskannya. Sama seperti dulu saat ia tidak mau melepaskan genggaman Clery dari tangannya. Rain melamun dan melemparkan dirinya kembali ke masa lalu.

Flashback

Saat itu Clery sakit. Di luar hujan deras dan petir menggelegar, membuat Clery begitu ketakutan. Clery memang paling takut dengan petir, tetapi ia suka hujan. Rain selalu ada di sisi Clery, menjaganya selama sisa malam.

"Kak, bilang sama Tuhan suruh usir dewa petirnya dari sini," pinta Clery dengan suara lemah.

"Iya Clery sayang, nanti Kakak minta sama Tuhan biar usir dewa petirnya." Rain mengiyakan.

"Clery, biar aku aja yang usir. Lihat nih aku udah bawa pedang!" tiba-tiba Rein muncul dari ambang pintu dengan membawa pedang-pedangan.

Clery menggeleng, "nggak mau. Aku maunya Kak Rain."

Rein tanpa sadar menjatuhkan pedangnya. Ia mendesah kecewa. "Ya udah nggak apa-apa. Lagian Kak Rain lebih cocok jadi pendekar. Kalau aku sih cocoknya jadi kacungnya pendekar, hahaha..." Rein tertawa garing.

***

Rain melihat jam di meja, sudah hampir jam tujuh pagi. Rain mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Rinai. Sudah tidak panas lagi. Rain juga menepikan anak rambut yang jatuh di kening Rinai. Gerakan itu ternyata membuat Rinai terjaga. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan mendapati Rain sudah tersenyum menyambut bangun paginya.

"Selamat pagi. Tidur nyenyak?" sapa Rain.

Rinai mengangguk. Setelah menceritakan semua masalahnya kepada Rei, memang mimpi buruk Rinai jarang datang. Rinai akhir-akhir ini bisa menikmati tidur nyenyak yang selama ini jarang ia rasakan. Satu hal yang langsung hinggap di otak Rinai saat ini adalah Rei. Bagaimana keadaannya sekarang? "Rei sudah pulang, Kak?"

"Sepertinya belum. Gue semalaman jagain lo, jadi nggak tau dia udah balik atau belum. Tapi gue sama sekali nggak denger suara motor. Jadi kesimpulan gue, Rei belum pulang."

"Kak, boleh minta tolong?" pandangan Rinai memohon. Rain mengangguk. "Tolong telepon Rei. tanyain dia ada dimana, tapi jangan bilang kalau aku yang suruh Kakak, ya?"

Rain tersenyum simpul, kemudian ia mengerti. Rain mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan segera mengontak Rei. "Halo... lo dimana?.... kapan balik?.... iya... dia udah baikan kok... tenang aja, gue jagain dia semalaman... oke... cepet balik..."

Klik! Sambungan terputus.

"Gimana, Kak?"

"Dia di Jakarta."

"Apa?!" Rinai terlonjak. Untuk apa Rei ke Jakarta? Rinai menunduk, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Saat ini, Rei, seseorang yang paling ingin dia temui berada berpuluh-puluh kilometer dari tempatnya.

"Jangan bilang Oma sama Opa ya, Rin. Dia ada urusan disana. Tenang aja, dia pergi sama temennya. Nanti malem juga udah balik," ujar Rain dengan nada setenang telaga. "Ya udah lah, Rin, yang penting sekarang lo itu harus banyak-banyak istirahat. Kalau sampai Rei lihat lo tambah parah, bisa-bisa dia habisin gue. Hehehehe..."

***

Sementara itu berpuluh-puluh kilometer dari tempat Rinai dan Rain berada, Rei memiliki kesibukan lain. Menjelajahi apa yang ada di depannya dengan mata. Pemandangan Jakarta di pagi hari memang bukan pemandangan yang indah untuk disaksikan. Macet dimana-mana, seperti lautan mobil jika dilihat dari atas. Tapi itulah Jakarta. Kota yang tak pernah tidur.

Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang