Jangan lupa diputer mulmednya.. semoga terbawa suasana.. :)
***
Rei diam tak bergerak. Ia merasa dunianya hilang. Ia merasa jiwanya sudah mati. Saat ia melihat tubuh Rinai yang tergolek tak berdaya di ranjang rumah sakit. Dan kini hanya selang oksigen, infus, dan beberapa alat yang bisa menopang hidupnya. Rei tidak dapat menahan getaran di tubuhnya. Ia jatuh seketika itu juga. Luruh di lantai yang begitu dingin, sedingin hatinya saat ini. Ia memeluk lututnya sendiri di sudut ruangan itu. Merasakan bagaimana tubuh dan bahunya bergetar di tiap isakan yang ia keluarkan. Ia tidak seperti ini terhadap Clery dulu. Ia akan menjadi laki-laki yang kuat. Ia akan selalu menunjukkan pada Clery bahwa ia tidak akan menangis agar tidak membuat Clery sedih. Lalu sekarang apa? Ia bahkan menangis dengan keras. Suara isakannya sangat memilukan. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya merah. Tidak ada ruang lagi di wajahnya yang luput dari air matanya. Bahkan air mata itu kini sudah bercampur dengan darah Rinai yang masih tersisa di wajahnya.
Ia sudah lelah membohongi dirinya sendiri. Ia sudah lelah untuk berpura-pura kuat. Ia sudah lelah untuk menunjukkan bahwa dia adalah laki-laki yang tahan banting. Kali ini ia menyerah. Menyerah dengan keadaan. Menyerah dengan hatinya. Menyerah dengan dirinya sendiri. Maka beginilah ia sekarang, hanya berusaha jujur dengan apa yang ia rasakan. Dan inilah yang ia rasakan. Rasa sakit dan perih yang mengiris hatinya sedikit demi sedikit hingga tak berbentuk. Yang mengoyak benteng pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah. Yang menikam ulu jantungnya hingga membuatnya tidak bisa berdetak. Ia tidak pernah tau, bahwa ternyata seorang Rinai bisa membuatnya berada dalam posisi titik terendah seperti saat ini. Bahkan Clery tidak pernah membuatnya seperti ini.
Dengan kondisinya yang seperti ini bahkan Rei juga merasakan otaknya mati. Tidak bisa berpikir jernih. Ia bahkan tidaak sanggup menghubungi siapa-siapa. Mungkin sudah ada Onie yang memberi kabar pada Opa dan Oma. Rei tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini adalah ia bersama Rinai sekarang. Dalam ruangan yang sebenarnya paling ia benci, ruangan yang serba putih yang sangat menakutkan ini. Tetapi dalam ruangan ini pula akan ada harapan bahwa Rinai akan sadar dan kembali sembuh. Hanya tinggal menunggu hasil pemeriksaan. Karena tadi saat tiba di rumah sakit dokter sudah memeriksa Rinai. Dan Rei masih ingin percaya bahwa Rinai tidak koma, ia hanya tidur karena kelelahan dan akan secepatnya sadar.
Pintu ruangan rawat Rinai diketuk dengan keras. Rei terkesiap, dengan cepat ia mengusap air matanya. Tetapi percuma saja, darah masih membekas di wajahnya, dan matanya sudah sangat sembab. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan lagi dari siapapun orang yang akan masuk. Belum sempat Rei membukakan pintu, orang itu sudah membuka pintu terlebih dahulu. Rei melihat Opa dan Oma masuk. Opa dan Oma terlihat sangat kaget melihat begitu banyak darah di tubuh Rei. Oma segera memeluk Rei tanpa peduli bahwa sisa darah itu juga dapat mengotori pakaiannya.
"Oma...Rei takut...Rei nggak mau kehilangan Rinai," Rei tetap tidak bisa menahan air matanya. Apalagi saat ia merasakan pelukan dan bahu Oma yang begitu nyaman. Ia seperti merasakan ia memeluk ibu kandungnya sendiri.
"Rei, Rinai nggak akan kenapa-kenapa. Dia pasti sembuh. Kamu harus kuat supaya Rinai juga cepat sembuh. Kamu harus kasih dia semangat ya?" Oma mengelus-elus punggung Rei dengan lembut.
Rei menggeleng pelan, ia semakin terisak, "Rei nggak bisa Oma. Rei... nggak bisa kuat lagi. Rei nggak sanggup. Sakit... Rasanya sakit banget, Oma." Rei meremas-remas dadanya.
"Rei, Opa percaya kamu adalah laki-laki yang kuat. Opa yakin Rinai pasti sembuh. Opa tadi juga sudah menghubungi orangtua Rinai dan mereka besok akan ke Bandung dengan penerbangan pertama," kata Opa juga berusaha menenangkan Rei.
Rei melepaskan pelukannya pada Oma. Mereka bertiga akhirnya melihat Rinai yang masih senang dengan tidur lelapnya. Opa dan Oma bergantian mencium kening Rinai sambil membisikkan kata-kata penyemangat agar Rinai segera sadar. Sementara Rei hanya terdiam di tempatnya berdiri. Otaknya masih mati dan ia tidak tau harus melakukan apa. Ia bahkan terlalu takut untuk mendekat dan menyentuh Rinai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai Hujan
Teen FictionNO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari itu tidak sempurna. Sayapnya patah. Ia tidak bisa terbang seperti bidadari lainnya. Tapi ia memiliki kelebihan. Ia mampu memberikan kebahagia...