Flashback
Seminggu setelah kematian istrinya, Fredy Gunawan menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Pekerjaan bisa membuat ia sedikit melupakan kesedihannya. Saat jam pulang di sore hari, ia tidak langsung pulang. Ia selalu menuju pasar malam untuk mencari makan. Disana hatinya lebih tenang daripada berada di sebuah restaurant mewah. Suara pengamen jalanan, suara tawa anak-anak kecil yang sedang menunggu ibunya berjualan, suara para pengunjung warung yang biasanya berasal dari berbagai daerah membuat kesedihannya sedikit pupus.
Saat sedang duduk sambil menunggu pesanan nasi uduk di sebuah warung, tiba-tiba matanya tertuju pada satu titik. Seorang gadis kecil yang sedang mengambil kue-kue dagangannya yang berserakan di lantai. Hati Fredy terdorong untuk menghampiri si gadis kecil. Fredy berjalan mendekat dan ikut membantu gadis itu mengambil kue-kuenya.
"Terima kasih, Om," ujar si gadis kecil dengan tulus.
Fredy tersenyum, "sama-sama. Kamu setiap hari jualan disini?"
"Iya, Om. Saya menggantikan ibu saya. Ibu saya sedang sakit, jadi nggak bisa berjualan."
"Kue kamu kotor semua. Pasti tidak bisa dijual lagi," Fredy menunjuk kue yang tadi jatuh itu.
Mata si gadis kecil meredup. "Ini salah saya sendiri, Om. Saya jalannya nggak hati-hati."
Saat si gadis kecil mengatakan demikian, baru Fredy tersadar ada yang berbeda dari gadis ini. Fredy mengamatinya lebih seksama. Dan ia menemukan sesuatu yang berbeda itu. Gadis ini tidak bisa berjalan dengan sempurna karena di kakinya dipasang sebuah alat untuk membantunya berjalan. Fredy merasa iba, hatinya lebih tergerak untuk membantu gadis kecil ini.
"Nama kamu siapa?" Tanya Fredy.
"Clery, Om."'
"Kalau gitu ini buat Clery. Buat ganti uang kuenya," Fredy menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan pada Clery. Clery awalnya tidak mau menerima uang itu, karena Fredy yang memaksa akhirnya ia mau juga.
Dari perkenalan itulah setiap Fredy kembali ke tempat ini, ia selalu mencari Clery. Ia betah menghabiskan waktu berlama-lama bersama Clery. Mereka saling bertukar cerita. Clery menceritakan kehidupan keluarganya, sedangkan Fredy menceritakan kedua putranya Rain dan Rein. Tidak hanya itu, Fredy juga sering mengantar Clery pulang. Disana ia bertemu dengan ibu Clery yang tidak bisa bangun dari tidur karena sakitnya. Fredy selalu memaksa untuk membawa Ibu Clery ke rumah sakit, tapi Ibu Clery selalu menolak, akhirnya Fredy menghargai keputusannya asalkan ia tetap rutin minum obat dan kontrol ke dokter.
Sadar atau tidak disadari, semua perhatian Fredy beralih ke keluarga Clery. Ia jadi mengabaikan kedua putranya. Di rumah pun mereka jarang bertemu bahkan hampir tidak pernah karena setiap Fredy pulang Rein dan Rain pasti sudah terlelap. Saat kondisi ibu Clery semakin parah, ia malah tidak pernah pulang. Ia selalu menemani Ibu Clery. Ia juga melarang Clery berjualan kue lagi karena ia yang akan membantu seluruh biaya pengobatan untuk ibunya. Tapi Tuhan berkata lain, beberapa bulan kemudian Ibu Clery meninggal dunia. Fredy tidak tega membiarkan Clery hidup sendiri. Akhirnya ia mengangkat Clery sebagai anaknya.
"Mulai sekarang jangan panggil saya Om. Panggil saja papa. Kamu bisa menganggap saya sebagai papa kamu. Kamu juga bisa ikut saya ke rumah yang lebih besar. Disana kamu bisa bermain bersama kakak baru kamu, Rain dan Rein. Mereka pasti senang punya adik manis seperti kamu," Fredy menyunggingkan senyum sambil membelai rambut lembut Clery. Clery balas tersenyum dan ia mengangguk setuju.
***
"Kenapa dari dulu Papa nggak pernah bilang sama kita kalau Papa sebenernya nggak pernah nikah lagi?" Rei mengintrogasi, sementara Rain masih tercengang dengan apa yang baru ia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai Hujan
Teen FictionNO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari itu tidak sempurna. Sayapnya patah. Ia tidak bisa terbang seperti bidadari lainnya. Tapi ia memiliki kelebihan. Ia mampu memberikan kebahagia...