Rinai Hujan 21

4.8K 352 9
                                    

Sudah 10 hari ini Rinai dirawat di rumah sakit dan itu membuatnya merasa sangat jenuh. Rinai kangen dengan suasana rumah. Kangen bisa menghirup aroma mawar dari kebun Oma. Kangen hanya duduk-duduk di gazebo kebun. Daripada hanya tidur di rumah sakit. membuat otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Apalagi saat ini Rinai merasa dirinya baik-baik saja. Ia tidak merasakan kesakitan. Tapi mengapa dokter selalu menahannya? Banyak sekali alasan yang diutarakan oleh dokter agar ia bisa tetap tinggal di rumah sakit. dan itu membuat Rinai merasa benar-benar aneh. Sejak ia sadar memang ia sudah merasa sangat aneh, terlebih sikap orangtuanya yang terlalu memperhatikannya dengan sangat berlebihan. Begitu juga dengan Rei. Sejak mereka saling mengungkapkan perasaan mereka, Rei menjadi sangat overprotektif terhadap Rinai. Bukannya Rinai tidak senang, ia hanya merasa ada yang sedikit mengganjal di hatinya. Sampai saat ini saja ia tidak mengerti sebenarnya apa yang menjadi penyakitnya.

Rinai tidak mau terlalu banyak pikiran, toh pasti suatu saat nanti mereka mengatakan semua kebenarannya pada Rinai. Rinai hanya butuh bersabar. Rinai memandang Rei yang saat ini sedang asyik bermain game di ponsel. Ia duduk di sofabed disamping ranjang Rinai. Tempat itu memang sudah dikuasai oleh Rei karena setiap hari Rei akan menginap di rumah sakit. ia bahkan tidak peduli dengan sekolahnya di Jakarta. Rain sendiri seolah menghilang sejak Rinai terakhir bertemu dengannya ketika ia baru sadar. Ia hanya mendapat kabar dari Oma bahwa Rain ada keperluan mendadak dan harus kembali ke Jakarta. Hal itu juga sedikit aneh bagi Rinai, karena Rain tidak pernah berpamitan secara langsung. Apalagi Rei sama sekali tidak tau bahwa kakaknya itu sudah kembali ke Jakarta. Ah, pusing jika harus memikirkan itu semua.

"Rei, aku pingin mangga," Rinai merajuk manja sambil melihat Rei yang smasihasik memainkan game dari ponselnya. Rei menoleh ke arah Rinai dan tersenyum.

"Udah kayak cewek hamil aja ngidamnya mangga," goda Rei. Ia meletakkan ponselnya dan segera berdiri dari sofa untuk menghampiri Rinai.

Pipi Rinai memerah mendengar godaan Rei. "Apaan sih? Emang lagi pingin mangga kok!"

"Iya, iya... nanti aku belikan buat kamu. Tapi nunggu orangtua kamu datang dulu. Aku nggak mau kamu sendirian disini," Rei duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan Rinai.

"Ih, mulai deh overprotektifnya. Lagian disini nggak ada penculik kan? Kok segitu takutnya sih?" tanya Rinai.

"Bukannya gitu, Rin. Kalau kamu ada apa-apa terus aku nggak ada kamu mau minta tolong siapa? Udah deh nurut aja apa susahnya sih?" Ada nada sedikit kesal dari suara Rei. Rinai memang terkadang keras kepala.

"Pokoknya aku mau mangga sekarang!" Rinai tetap pada pendiriannya. Ia pura-pura marah dan memalingkan wajahnya dari Rei.

Rei mendengus kesal, "kamu itu keras kepala ya, Rin? Iya aku belikan, tapi nanti."

"Sekaraaaaaang!" Mata Rinai mulai berkaca-kaca. Ia sendiri heran dengan dirinya bisa-bisanya hanya gara-gara mangga bisa sampai menangis. Melihat Rinai yang sudah hampir menangis mau tidak mau membuat Rei mengalah lagi.

"Ya udah aku beliin. Kamu baik-baik disini. Kalau ada apa-apa telepon aku aja," Rei mencium kening Rinai sebelum bergegas menuju pintu dan berjalan keluar.

***

Dengan langkah cepat Rei berlari menuju ruang rawat Rinai. Ia mengutuk kemacetan yang terjadi tadi. Memang saat ini sedang week end dan jalanan sangat padat. Tidak ada penjual buah di dekat rumah sakit. Ia harus membeli mangga di pasar yang jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan, hati Rei tidak tenang. Ia mengutuki kebodohannya juga yang mau saja pergi meninggalkan Rinai sendirian. Bukan berlebihan atau bagaimana, tapi memang Rei tidak ingin lalai lagi dalam menjaga Rinai. Ia tidak mau kecolongan. Rinai harus dalam pengawasannya sepenuhnya. Dan sejak pagi tadi tidak tau kenapa perasaan Rei sedikit tidak enak.

Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang