Rinai Hujan 18

5.5K 350 21
                                    

Jangan lupa puter mulmednya yaa..

****************************

Pensi kurang dua hari lagi. Suasana kelas semakin sepi karena banyak siswa yang ikut membantu segala persiapannya agar pensi kali ini bisa melebihi sukses pensi di tahun sebelumnya. Rinai sendiri tidak ikut andil apa-apa dalam urusan bantu-membantu. Ia duduk di kelas dengan beberapa teman yang memang tidak bertugas membantu. Sementara pelajaran ditiadakan karena guru-guru tidak mau beberapa anak yang tidak berada di dalam kelas jadi ketinggalan pelajaran.

Malas berada di dalam kelas, Rinai pun beranjak keluar. Ia berjalan-jalan di sekitar sekolah sambil melihat anak-anak yang sedang mendekor panggung dan melakukan persiapan lainnya. Saat melewati koridor, matanya menangkap sosok Rei yang sedang duduk sendiri di tangga. Tanpa berpikir lagi Rinai menghampiri Rei dan duduk di sebelahnya.

"Ngapain sih sendirian disini? Nggak ikut bantu-bantu?" tanya Rinai dengan senyum mengembang diwajah.

Rei tidak membalas senyuman Rinai. Pandangan Rei kosong, wajahnya kaku. "Gue harus pergi, Rin," nada bicara Rei penuh penekanan.

"Lo mau pergi kemana?"

Rei terdiam sejenak. Rasanya sulit mengatakan hal ini, tapi harus ia katakana. Bagaimanapun juga Rinai harus tau. "Jakarta. Gue bakal pindah kesana. Gue nggak bisa ninggalin bokap gue. Semalam gue dapet kabar kalau bokap gue sakit."

"Bokap lo?"

"Iya. Lo inget waktu gue pergi ke Jakarta? Gue ketemu sama bokap, dan dari pertemuan itu akhirnya hubungan gue sama bokap membaik. Bokap masih tinggal di rumah kami yang lama."

"Kak Rain juga ikut?"

"Iya. Semalam gue dan dia udah ngomong sama Opa dan Oma soal ini. Gue tadi pagi juga udah ngurus surat pindah."

Taaarrr!!!

Baru saja kilat menyambar kepala Rinai. Mulutnya terngaga, ia tidak mau mempercayai hal ini. Tidak, Rei mungkin hanya bercanda atau ia sedang menakut-nakutinya. Tapi untuk apa Rinai harus takut? Apa yang ia takutkan?

"Kenapa... kenapa lo nggak bilang gue? Bukannya lo bilang kita sekarang... pacaran?" tanya Rinai terbata. Ia memandang Rei dengan tatapan nanar.

Rei menoleh kepada Rinai. Rinai berusaha mencari sesuatu di dalam mata Rei. Ia mencari kebohongan disana. Sayangnya tidak ia temukan, ia justru menemukan sorot penyesalan yang amat dalam. "Maaf, Rin. Lupain soal kemarin. Gue terbawa suasana dan lo tau sendiri gue ini cowok labil. Soal gue baru bilang sekarang sama lo karena kemarin lo udah tidur, gue nggak tega bangunin lo cuma gara-gara bahas masalah ini."

Bunga-bunga indah yang kemarin disemayamkan oleh Rei di hati Rinai kini layu. Rinai tidak tau harus berkata apa. Jadi semalam Rei tidak serius dengan semua yang ia ucapkan? Ya ampun, Rin, lo bego banget sih! Harusnya lo sadar kalau Rei nggak bakal ngelihat lo! Di hati dia cuma ada Clery! Suara di dalam otaknya mengingatkan. Rinai pun mengerti dan berusaha terlihat tegar. "Ok, gue bisa ngerti. Kapan lo pergi?"

"Secepatnya. Kalau perlu sore ini juga, gue udah packing semua pakaian gue."

Rinai tidak bertanya lagi. Ia langsung berlari meninggalkan Rei. Jika sedetik saja ia bertahan di tempatnya, maka ia tidak mampu lagi membendung air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Langkah kakinya menuntun Rinai menuju sebuah tempat dimana ia bisa menumpahkan segala tangisnya. Gudang sekolah.

***

Aksi diam diluncurkan Rinai hingga mereka berada di rumah. Saat memasuki ruang tengah hati Rinai terasa perih saat melihat beberapa tas dan koper sudah siap di atas meja. Saat memasuki kamar Rei dan membuka lemarinya, Rinai lebih ingin menangis. Lemari itu sudah kosong.

Rinai HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang